4

4.2K 255 5
                                    

Mungkin aku terlalu pagi. Kantor masih lengang saat aku datang. Belum tampak kesibukan di meja-meja depan ruanganku. Namun aku menemukan pemandangan baru saat memasuki ruangan. Nail sudah menghadap laptop di meja kerjanya. Mimpi apa dia semalam hingga datang lebih pagi dariku?

"Kayaknya di luar nggak lagi hujan tapi ada yang aneh pagi ini," sapaku menyindirnya. Seperti biasa, dia hanya diam melanjutkan pekerjaannya. Curang! Coba kalau posisinya dibalik, habislah aku.

"Apa menu hari ini?"

Otot wajahku mengendur cuek. Aku kira dia sudah insaf dari menjarah bekal makanku, ternyata semakin hari justru semakin giat menanti.

"Gulai kakap, mau?" Mau tak mau aku tetap menawari. Kasihan, nggak ada yang membuatkannya sarapan.

"Boleh, tapi gue mau menyelesaikan pekerjaan dulu. Biar makannya nggak terganggu beban pikiran."

"Lagian mengerjakan apa sih pagi-pagi? Belum juga mulai jam kerja, kerja apa dikerjain?" Selorohku.

"Perluasan jaringan yang bertahun-tahun lalu mengalami kendala akan dimulai kembali proyeknya. Direksi meminta analisis kebutuhan bahan dan reformasi anggaran."

Aku menaikkan bibir lalu berpikir, "Kok direksi nggak bilang ke aku juga ya, Nail?" tanyaku curiga.

"Ya direksi tahu lah elu masih sibuk masak kalau pagi-pagi. Ini tadi informasinya mendadak."

Benar juga sih. Ah bodo amat. Enak kan nggak menambah beban kerja. Pencapaian hidupku sekarang adalah untuk ibu dan adik-adikku. Seberapa pun rizki yang Allah kasih itulah rizki untuk mereka.

"Kemarin lama nunggu jemputan?" tanyanya sambil merapat ke mejaku beberapa saat kemudian.

"Lumayan," jawabku enteng.

"Tapi jadi dijemput suami lu kan?"

"Ya Iyalah. Tumben tanya-tanya?" Aku menaruh curiga.

"Takutnya elu dijemput suami orang lain."

Dia berhasil menghadang pukulanku. Lalu menyingkir menggondol kotak bekalku.

"Thank you ya istri orang. Jangan lupa besok bawa bekal yang lebih enak," godanya yang kubalas dengan decak kesal.

***

Dia berbohong. Sudah tiga hari ini gue ikuti dia setiap pulang kantor, dan sudah tiga hari ini pula dia selalu mengatakan hal yang tidak sebenarnya saat gue tanya. Mobil yang menjemputnya berbeda-beda. Semua adalah taksi online yang segera menyingkir setelah menurunkannya di depan rumah.

Rasa penasaran gue kian memuncak. Banyak spekualasi yang terbentuk dari kebohongan besar Mbak Erin. Gue memperhatikan wajah seriusnya saat bekerja dari balik meja kerja. Berkaca dari pernikahan gue sendiri, seandainya dia tak bahagia di pernikahannya hingga perlu mengada-ada, kenapa dia bisa sekuat itu? Aku jadi kagum dan iri.

Terbesit suatu ide di benak.

"Mbak, gue mau main ke rumah lu."

Sontak dia menghentikan pekerjaannya. Menoleh karena kaget. Reaksi yang membuatku semakin bertanya-tanya. Seharusnya untuk pertanyaan sesederhana itu, dia tak perlu menunjukkan ekspresi seberlebihan yang kulihat sekarang.

Dik Duda (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang