"Aku tahu itu. Aku tahu sudah menjadi lelaki pertama yang menyentuhmu, Erin."
Dia menatap gue setelah perlahan menghentikan tangisnya. Kekecewaan itu tergambar jelas di pelupuk matanya. Bikin gue nggak sanggup melihat dia lama-lama.
Dia menggeleng pelan, nggak habis pikir.
"Gue lelaki yang pernah menikah. Mustahil kalau gue nggak tahu. Gue bisa merasakan bahwa sudah jadi yang pertama. Kalaupun tadi gue sempat mengatakan bukan yang pertama, memang itu sengaja. Biar lu ngaku lebih dulu, Mbak."
Dia menunduk. Isak tangisnya ditahan di tenggorokan. Kekecewaan yang gue ciptakan terlanjur menyesakkan.
"Sampai kesucianku pun jadi lelucon untukmu, Nail," serak dia menyimpulkan.
"Nggak gitu, Mbak. Maksud gue, gue...."
Dia nggak memedulikan gue lagi. Susah payah dia memunguti pakaian yang tercecer di lantai. Selimut yang membelit tubuhnya sedikit menyulitkan. Hingga dia hampir tersungkur. Untung gue sigap menangkap. Tapi yang gue justru menerima dorongan sebagai balasan.
"Jangan pernah menyentuhku lagi! Aku benci padamu!"
Jeritan itu jujur sekali. Dan dengan bodohnya gue hanya bisa merelakan kepergiannya masuk kamar mandi. Sementara ini, biar dia membersihkan diri.
***
Samar-samar kuingat apa yang Nail lakukan semalam. Itu menjijikkan. Wanita macam apa yang tidur, bergumul, dan beradu keringat dengan lelaki yang bukan suaminya. Hiks.
Aku kotor. Aku tidak lagi punya kekuatan untuk berdiri di depan Mas Fatir. Apalagi ibu. Bagaimana jika Mas Fatir meminta haknya dan dia tahu aku bukan lagi seorang yang suci.
Kenapa ini menimpaku? Hiks.
Tuhan sedang menghukum seorang istri yang sempat meminta kesenangan dari lelaki lain. Seharusnya itu nggak boleh kulakukan, nggak boleh meminta untuk dibahagiakan barang seharipun. Sedikitpun.
Kotor! Terus kusesali nasib sambil membasuh tubuh di bawah shower. Aku terduduk. Terisak-isak. Apalagi saat kulihat bekas cumbuan Nail di dada. Bercak-bercak merah membiru yang membuatku ingin menyayat kulit sendiri hiks hiks.
Bagaimana ini, Tuhan? Tolong hamba. Kembalikan sesuatu yang sudah Nail renggut dengan seenaknya.
Aku menggigil kedinginan. Sendirian. Dan....
"Bangun, Mbak. Gue mohon, bangun... Maafin gue. Gue yang sala."
Suara kesedihan membangunkanku. Seketika kucabut tanganku dari genggaman pemilik suara itu. Lalu bangun dan beringsut. Menghindar.
Kulihat tubuhku yang sudah berbalut baju. Seingatku tadi sedang di dalam kamar mandi. Kenapa....
"Lu pingsan, Mbak. Gue terpaksa masuk karena lu lama nggak keluar. Takut terjadi apa-apa sama lu."
Aku membuang muka. Enggan melihat muka biadabnya.
"Minum dulu, Mbak. Kita harus bicara dengan kepala dingin," anjurnya sambil menyodorkan segelas air di depanku.
Byurr!
Cipratan air terdengar sesaat setelah kusahut segelas minum itu. Sengaja kusiramkan di depan wajahnya.
"Sudah dingin kan?" lirih aku bertanya. Kekecewaanku padanya tumpah ruah.
Kuturuni ranjang. Mengambil koper dan memasukkan pakaian-pakaianku.
"Mbak, lu mau kemana?" tanyanya panik tepat di belakangku. Terus mencoba untuk menghentikan aktivitasku.
"Aku mau pulang!" bentakku sambil menampik tangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dik Duda (21+)
Romance"Siapa yang lebih merendahkan elu di sini, Mbak? Gue yang berani nyentuh elu tapi sayang sama elu atau suami lu yang berani nikahin tapi cuma nganggurin? Melek Erin! Lu nggak dapat nafkah lahir batin, sementara gue? Gue akan kasih apapun yang lu min...