18

1.6K 176 6
                                    

Akan dihapus dalam 24 jam ke depan

***

"Aku kesini karena sudah tiga hari kamu nggak masuk, Mbak. HRD bilang kamu sakit."

Kami bertiga duduk di ruang tamu rumahnya. Dari potongan sofa yang berbeda, kami saling memperhatikan siapa yang bicara. Tegang, canggung, itu iklimnya.

Gue letakkan parcel buah di meja sebagai kambing hitam. Buah-buah alasan. Kamuflase dari sebuah kepalsuan. Gue cuma ingin lihat wajahnya walaupun sesekali mata suaminya membulat seolah mengingatkan tentang sebuah kepemilikan.

Kenapa baru sekarang? Kenapa saat gue sudah jatuh cinta pada istrinya, baru kemudian dia menunjukkan taringnya.

Sejak hari itu Mbak Erin memblokir nomor gue. Bahkan seluruh akun media sosial gue pun nggak diberi akses sama sekali. Jadi jangan salahkan gue kalau sampai senekat ini, Mbak. Cowok kalau sudah jatuh cinta nggak akan bisa dikendalikan lagi. Apalagi kalau patah hati.

"Kamu sakit apa, Mbak?"

Dari gue ke aku, lalu elu ke kamu. Coba gue biasakan. Karena yang terjalin antara gue dan Mbak Erin sekarang, lebih dari sekedar panggilan gue dan elu. Secara tak kasat kami terikat.

Mbak Erin nggak jawab pertanyaan gue, dia justru memandang gelisah ke arah suaminya.

"Aku masuk dulu, kalian lanjutkan." Bang Fatir memang baik hati. Seperti yang Mbak Erin bilang. Dia ngasih kami kesempatan bicara empat mata, entah apa maksudnya.

"Mas..." cegah Mbak Erin menahan langkah Mas Fatir. Menarik ujung kemejanya sebentar sebelum buru-buru dilepas karena merasa nggak sadar.

"Ya."

"Mas tunggu di sini saja. Biar aku yang masuk untuk buat minum."

Mbak, kok lu tega sama gue? Lu ngomong sama gue aja enggak. Dan sekarang, melihat cara elu bicara dengan Bang Fatir saja gue... cemburu. Shit!

***

Sejak bertemu dalam satu ruangan lagi, kami sama sekali belum berkomunikasi. Sudah gue coba bicara duluan tapi percuma. Dia cuma merespon dengan keheningan.

Urusan pekerjaan selesai tapi nggak bisa maksimal. Kami nggak bisa bercanda. Benar-benar nggak nyaman.

"Es coklat, biar nggak capek. Nih, Mbak."

Lama tangan gue menggantung di depannya. Sengaja nggak gue letakkan di atas meja. Agar belas kasihanmya menerima dan gue bisa duduk di hadapannya.

"Kita harus bicara, Mbak."

Dia diam.

"Gue nggak bisa lu diemin gini. Kita nggak bisa bersikap seolah nggak terjadi apa-apa. Sudah terjadi sesuatu yang cukup intim di antara ki...."

Byur!

Es coklat yang belum tersentuh bibirnya itu menerjang kemeja gue. Setega ini dia menyiram gue dengan segelas air perhatian yang gue berikan.

"Apa suatu kebanggaan bagimu karena sudah merenggut kesucianku? Begitu mudahnya kamu membahas tanpa peduli perasaanku. Apa kamu tahu? Untuk menginjakkan kaki di kantor ini lagi dan berjumpa denganmu saja aku harus mengumpulkan banyak kekuatan. Berani-beraninya kamu mengungkit sesuatu yang menyakitkan. Asal kamu tahu, aku muak melihatmu, Nail!"

Dia berlari keluar. Menangis. Membiarkan gue mandi es coklat sambil menggebrak meja gue sendiri. Marah pada kecerobohan diri gue sendiri.

***

"Mbak, pulang bareng gue..."

Belum berakhir kalimat gue, dia sudah berjalan ke arah gue. Gimana senyum gue nggak merekah coba. Akhirnya gue bisa menjumpai ketulusan itu.

Dik Duda (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang