13. TROUBLE IS A FRIEND

157 32 18
                                    

Gracie.

"udah mau pulang? Nggak mau mampir dulu? Sekalian kenalan juga sama abang gue," Gracie mengajak Jeno untuk bergabung saat laki-laki itu hendak pamit pulang.

Jeno tampak menimang-nimang sebelum akhirnya mengangguk. "boleh deh," ujar Jeno dan berjalan mendekat ke tiga manusia lainnya.

Begitu memasuki rumah Ivanna, Yuda langsung asal merebahkan tubuh besarnya di atas sofa. "akhirnya duduk juga... Masuk rumah ini tuh susahnya kayak masuk surga ya?!" Yuda memulai pembicaraan dengan misuh-misuh.

Gracie hanya membalas dengan kekehan kecil. "oh iya, ini abang gue, Yuda. Dia ikut mama pas orang tua gue cerai dan sekarang lagi kuliah di UGM, Jogja," ujar Gracie, memperkenalkan sang kakak kepada kedua temannya.

Jeno dan Ivanna hanya melemparkan senyum canggung, terutama Ivanna yang tadi sudah menolak percaya mentah-mentah pada Yuda. "salam kenal, Bang. Gue Jeno," ujar Jeno, juga memperkenalkan diri.

"Ivanna," cicit Ivanna, menyebutkan namanya tanpa berani menatap ke arah Yuda.

Yuda menaruh pandangan pada Ivanna sebentar, lalu beralih melihat ke arah Jeno. "cowok lo?" tanya Yuda pada Gracie dan mendapat reaksi gelengan kepala.

"bukan," jawab Gracie.

"masih proses, Bang. Emang butuh usaha yang lebih keras lagi buat dapetin hati Gracie," Jeno menimpali jawaban Gracie tanpa ragu di hadapan Yuda.

Gracie melebarkan kedua bola matanya begitu mendengar perkataan Jeno dan melemparkan tatapan tajam pada si pengucap.

Yuda mengulas senyum miring dan mengangguk-angguk. "bagus bagus, gue suka gaya loeee," ujar Yuda di luar dugaan.

"kok?" Gracie merasa tidak terima dengan respon yang diberikan Yuda. Ia pikir sang kakak akan bersikap protektif padanya begitu tahu ada laki-laki kurang ajar yang akan mengacak-acak hatinya.

Sedangkan Ivanna yang sedari tadi hanya memperhatikan tidak sengaja mencibir. "dih, tampilannya doang garang, tapi kelakuannya kayak jamet," ujar Ivanna sambil berdecih.

Tatapan heran namun menusuk dari tiga pasang mata pun tak dapat Ivanna hindari. "ups," gumam Ivanna dengan suara pelan sambil berlagak menutup mulut dengan telapak tangannya.

***

Jeno.

Tanpa terasa sudah 5 jam Jeno berada di rumah Ivanna, berbincang, makan, dan melakukan banyak hal lainnya bersama Gracie, Yuda, dan juga si pemilik rumah.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponsel Jeno. Ia langsung membukanya begitu tahu pesan dikirim oleh sang bunda.

Bunda : Jeno, kamu di mana?

Bunda : bunda denger kabar dari kantor, papa kamu mendadak pingsan dan masuk UGD

Bunda : sekarang bunda udah di rumah sakit, kunci rumah bunda taruh di bawah keset

Jeno : nggak bund, Jeno mau nyusul ke rumah sakit

Jeno : rumah sakit mana?

Bunda : RS Harapan Jaya

Bunda : kalo begitu hati-hati di jalan

Jeno tak berniat membalas pesan sang bunda lagi, ia kembali menyimpan ponselnya dan hendak pamit pergi. "Gracie, gue pergi duluan ya, ada urusan mendadak nih," ujar Jeno dan beranjak dari tempat duduknya.

"oh iya, hati-hati di jalan," Gracie yang sedari tadi fokus menonton film juga beranjak dari tempatnya dan menghampiri Jeno.

"iya. Ivanna, Bang Yuda, gue pamit duluan ya!" ujar Jeno tak lupa pamit dengan dua manusia lainnya.

Yuda mengalihkan pandangannya ke Jeno. "yooo, hati-hati. Nanti mabar lagi ye," ujar Yuda, tampak sudah cukup akrab dengan Jeno. Sedangkan Ivanna hanya merespon dengan dehaman.

Setelah selesai berpamitan, Jeno langsung bergegas menuju rumah sakit. Menembus keramaian jalan raya dengan kecepatan penuh dan fokus yang terpecah belah.

Beruntung, Jeno bisa sampai dengan selamat sampai tujuan dan mata tajamnya langsung menangkap sosok yang sangat ia kenal; sang bunda.

"bunda!" Jeno menghampiri sang bunda sembari beberapa kali memanggil dan berhasil membuat wanita berusia 30 tahunan yang memiliki nama Veny itu pun menyadari kehadiran sang putra.

"gimana keadaan ayah?" tanya Jeno, langsung mengambil posisi di samping Veny. Dan jawaban yang didapat hanya gelengan kepala, tanda sang bunda juga tidak tahu.

Pandangan Jeno beralih pada dua orang berpakaian rapih layaknya pegawai kantor. Jeno membungkukan sedikit badannya. "terima kasih banyak sudah membantu," ujar Jeno, mengucapkan terima kasih pada teman kantor sang ayah.

Kedua orang itu melemparkan senyum tulus. "tidak apa-apa, sebuah keharusan untuk membantu rekan kerja apalagi dalam keadaan darurat seperti ini," ujar salah satunya.

Ceklek!

Pintu ruang Unit Gawat Darurat yang sedari tadi tertutup rapat akhirnya terbuka, menampilkan sosok pria berjas putih dengan stetoskop yang menggantung di leher. Veny dan Jeno langsung berdiri dan menghampiri sang dokter.

"bagaimana keadaan suami saya?"

Raut wajah sang dokter tak bisa ditebak. Jeno pun tak bisa memperkirakan informasi apa yang akan disampaikan. Kabar baik atau kabar buruk.

"setelah diperiksa, pasien mengalami pemcahan pembuluh darah di otak, namun pasien tidak bisa diselamatkan.

Kami segenap tenaga medis memohon maaf yang sebesar-besarnya dan turut berdukacita," ujar sang dokter sedikit menundukkan kepalanya sebelum melangkah menjauh.

"dokter!" Jeno memanggil sehingga membuat sang dokter menghentikan langkah. "besok-besok nggak perlu merasa bersalah lagi, semua orang juga tahu dokter sudah berusaha dan mengupayakan yang terbaik, tapi mungkin Tuhan berkehendak lain. Terima kasih atas kerja kerasnya!" ujar Jeno dengan ukiran senyum di wajah walaupun hatinya juga terasa sakit.

***

How how how???

Terima kasih sudah membaca <3

Have a good day all ~

Next Chapter; 14. LOST

[ Ivanna Lituhayu ]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[ Ivanna Lituhayu ]

Our Happy Ending | Jeno-Karina ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang