06. REJECTION

230 47 10
                                    

Jeno.

"kalo sama gue? Suka?"

Gracie hanya memasang raut wajah datar, tidak tersemu-semu seperti perempuan kebanyakan. "nggak," jawab si gadis dengan singkat, padat, dan jelas.

Jeno memasang raut wajah yang menunjukkan ia kurang puas dengan jawaban Gracie. Namun, di saat yang sama dirinya merasa tertantang.

Untuk membuat Gracie berkata iya,

Jika mendapat pertanyaan itu lagi.

"omong-omong mau makan siang dulu nggak?" tanya Jeno sambil memakai helmnya.

Gracie langsung menggeleng, tanda ia menolak. "nggak, makasih."

"gue lupa bilang, kalo nggak ada penolakan," Jeno menimpali perkataannya sendiri.

Dari raut wajah Gracie, sudah dipastikan kalau si gadis merasa kesal setengah mati dengan sikap Jeno yang semena-mena.

"gue bisa makan sendiri di rumah dan sekarang gue mau pulang. Kalo nggak mau anter, gue bisa pulang pake kendaraan umum," ujar Gracie, lalu melangkah menjauh.

Jeno menghembuskan napas kasar melihat sikap Gracie yang terlalu mandiri dan independen.

Dasar, waktu itu saja sudah seperti kaca yang hancur lembur, sekarang malah menjadi keras seperti baja.

Motor besar itu pun beranjak dari tempat parkirnya dan menyusul Gracie. Sang empunya tidak setega itu untuk membiarkan seorang gadis remaja pulang sendiri dengan kendaraan umum, apalagi dengan cuaca sepanas ini.

Jeno memberhentikan motornya tepat di depan Gracie. "ayo naik, gue anter pulang," ujar Jeno. "nggak ada penolakan," ia memaksa untuk yang kedua kalinya.

Tanpa berkata apapun, Gracie naik ke atas motor besar Jeno dan pergi meninggalkan kawasan toko buku itu.

Setelah kurang lebih menempuh perjalanan selaman 15 menit, mereka pun sampai di tujuan. Iya, rumah Gracie.

"thanks," ujar Gracie begitu turun dari motor besar milik Jeno.

Jeno mengulas senyum. "iya, makasih juga udah nganterin beli buku,"

"oh iya, maaf buat yang tadi, gue nggak bisa jaga sikap," ujar Jeno, merasa tidak enak hati.

"nggak apa-apa, kita bisa makan siang bareng lain kali, tapi nggak hari ini."

Entah mengapa mendengar tuturan Gracie membuat Jeno berbahagia dalam hati. "ya udah, gue balik."

Gracie hanya mengangguk-angguk.

"hati-hati di jalan."

***

Gracie.

Setelah kepergian Jeno, Gracie langsung masuk ke dalam rumah dan berlanjut sampai kamarnya.

Hari yang cukup melelahkan.

Sekolah sudah menguras tenaga, ditambah diganggu oleh manusia bernama Jeno Kenziero. Sebenarnya Gracie sudah tahu, laki-laki itu tidak ringan mulut dan menyebarkan kejadian waktu itu. Tapi entah kenapa dirinya dengan mudah menuruti permintaan Jeno seolah-olah ia takut, serta merasa terancam padahal tidak juga.

Kenapa?

Apa ada perasaan lain?

Selain perasaan takut jika sewaktu-waktu Jeno membeberkan semuanya. Sampai kini, Gracie pun belum bisa menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan masuk.

+6287654321 : Gracie

+6287654321 : ini Jeno

+6287654321 : save kalo mau, kalo nggak juga no problem

Gracie : ok

Tanpa berniat untuk melanjutkan obrolan yang lebih panjang dan penuh basa basi, Gracie langsung menyimpan kontak Jeno. Tidak bermaksud apa-apa, hanya untuk sebatas sebagai tanda pengenal kalau itu bukan nomor orang tak dikenal.

Jeno K : lo biasa ke sekolah pake apa?

Gracie : bis sekolah, kadang ojek online

Jeno K : mau gue jemput aja nggak?

Gracie : g, makasih

Jeno K : tertolaq lagi...

Gracie menutup ponselnya setelah membaca pesan terakhir dari Jeno. Obrolan yang dibicarakan sangat tidak bermutu dan hanya basa basi belaka. Anehnya, kenapa dirinya terus saja menanggapi.

Kenapa?

Pertanyaan itu muncul lagi.

Ting!

Gracie melirik layar ponselnya.

Jeno K : Gracie

Jeno K : jangan terlalu sering sedih dan nangis

Jeno K : hati gue sakit lihatnya

"dasar cowok sinting,"

Ujar Gracie refleks, begitu dirinya membuka pesan dari seorang Jeno Kenziero. Dengan tidak sengaja ia pun mengumpat dengan sepenuh hati.

***

Terima kasih sudah membaca!

Our Happy Ending | Jeno-Karina ( ✔ )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang