بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Bila yang hilang dari diri kita adalah iman. Maka kemana lagi kita harus mencari?
~Into Divine Love
Karya : Syahda Khairunnisa ~
♥♥♥
"Sekarang giliran saya yang bertanya.
Apa tujuan hidup ateis jika tidak punya tujuan kematian?" tanyaku. Otomatis ucapan yang dikatakan Kak Arland waktu itu benar. Buat apa hidup jika tidak memiliki tujuan? Isn't that a waste?"Sekarang saya coba balik pertanyaannya, apakah dengan adanya tujuan kematian, otomatis seseorang memiliki tujuan hidup? Padahal, hidup dan mati itu sendiri dua hal yang berbeda, malahan bertolak belakang."
Sepertinya pertanyaanku harus diperbaiki. Bahwa yang kumaksud adalah after life alias kehidupan setelah kematian.
"Ateis kan tidak percaya dengan surga atau neraka, lalu untuk apa mereka hidup coba?" tanyaku lagi. Pertanyaannya hampir sama, aku hanya ingin tahu pendapatnya mengapa memilih menjadi ateis.
"Kalau tidak percaya dengan Hari Pembalasan, untuk apa kau berbuat baik? Bukannya sia-sia saja?" Nazran bertanya balik. Aku menggeleng keras.
"Siapa yang tidak percaya? Umat Muslim sudah jelas percaya akan adanya hari pembalasan. Anda jangan mengambil kesimpulan sendiri." Aku mengatakan dengan kesal.
Dia menghelas napas panjang. "Begini ya, hanya karena ateis tidak percaya dengan after life, bukan berarti hidup mereka menjadi kosong tanpa tujuan. Sebaliknya, karena mereka percaya you only live once, hidup itu hanya sekali, maka mereka lebih memiliki insentif untuk menjalani hidup dengan sungguh-sungguh, karena waktu tidak bisa diputar ulang dan tidak ada kesempatan kedua." Jawabannya cukup logis, mungkin karena dia berpikir seperti itu membuatnya memilih tidak punya agama. Aku jadi teringat satu cerita.
Alkisah, ada seorang siswa yang sangat berambisi untuk menjadi lulusan terbaik di sekolahnya. Dan dia berhasil. Dia meraih gelar tersebut, dan itu hal yang bagus. Namun, dia baru menyadari bahwa dia sama sekali tidak menikmati masa-masa indah di sekolahnya dan dia melewatkan banyak hal yang teman-teman seumurnya rasakan. Dia sukses meraih misinya, namun gagal menikmati prosesnya. John Lennon pernah berkata. "Life is what happens to you when you are busy making plans." Berapa banyak dari kita yang terpaku dengan masa depan hingga tidak bisa menikmati masa kini?
Dengan tidak percayanya akan surga-neraka, para ateis justru bisa mendefinisikan tujuan hidup mereka secara bebas. Apapun yang ingin mereka lakukan di dunia, tidak terikat atau terbayang-bayangi akan apapun itu yang terjadi setelah mati. Tanpa takut akan dosa atau berharap akan pahala, justru mereka bisa menetapkan sendiri dan menerapkan moralitas yang mereka yakini secara tulus tanpa pamrih.
Jawaban ini sama sekali tidak menjamin bahwa semua ateis menikmati hidupnya. Ada ateis yang hidupnya berkecukupan, ada yang kekurangan. Ada yang eksistensialis, ada pula yang absurdis bahkan nihilis. Namun, satu hal yang pasti ialah, tiadanya kepercayaan akan kehidupan setelah mati tidak menjadi alasan untuk tidak memiliki tujuan hidup.
"Kau pasti berpikir. Bahwa orang-orang ateis tidak memikirkan tentang kehidupan setelah mereka mati? Kau salah. Mereka berpikir. Hanya saja mereka berpikir dan menyimpulkan bahwa tidak ada yang namanya kehidupan sesudah kematian." Nazran berkata lagi. Membuatku bingung dengan segala asumsi mereka. Manusia tidak bisa berpikir sama dengan yang lain. Ini yang menyebabkan adanya perbedaan. Perbedaan yang terkadang tidak masuk akal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Into Divine Love (END)
RandomSpiritual | Romance Sekuel on novel Goresan Hati Cinta yang sesungguhnya adalah ketika hati menaruh harap sepenuhnya pada Sang Pencipta. Tanpa rasa berharap selain kepada-Nya. Sungguh-sungguh melabuhkan perasaan tanpa di ambang rasa bimbang. Ini ki...