Part 63

2.7K 309 12
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Acara resepsi berlangsung satu hari. Sedangkan berumah tangga seumur hidup. Seringkali orang-orang terlalu sibuk mempersiapkan bekal yang satu hari sehingga lupa dengan yang seumur hidup.

~Into Divine Love

Karya : Syahda Khairunnisa ~















♥♥♥










Malam sudah kian larut. Bintang-bintang masih bertaburan di atas sana. Aku menikmati malam di balkon dengan sepi, semilir angin yang berembus menusuk sampai ke tulang. Setelah beberapa menit selesai mandi, aku memilih untuk mencari udara segar. Badanku rasanya sangat lengket setelah seharian penuh memakai gaun besar yang sangat tidak nyaman. Belum lagi bertemu dengan ribuan orang dalam satu hari. Benar-benar hari yang begitu menguras tenaga.

"Memang suka sama angin malam?" Suara bariton di belakangku membuatku menoleh  ke samping. Pandanganku jatuh pada wajah laki-laki yang tingginya melebihiku. Nazran jauh lebih tinggi, bahkan ketika berdampingan seperti ini saja aku harus mendongak untuk melihat wajahnya. Wajahnya tampak basah dan lebih fresh, dan saat ini Nazran tengah memakai kaos putih dan celana selutut.

Jangan ditanya bagaimana rupanya, bahkan aku rasa bayangannya saja sudah mampu membuat para perempuan di luar sana histeris. Bagian hidung yang menonjol menambah ketampanannya, ditambah bibirnya yang merah muda, tampak kalau Nazran bukan seorang perokok. Alisnya begitu tebal, dan mata cokelatnya begitu pekat. Perpaduan yang sangat tampan. Kenapa aku baru menyadari kalau pria di sampingku ini begitu menawan? Jantung, bertahanlah menghadapi ini, kumohon.

"Terlalu fokus lihat wajah saya sampai gak dengar pertanyaan saya?"

Aku gelagapan dan buru-buru mengalihkan pandangan menatap arah lain selain matanya. "I-tu, tadi aku bosen aja. Makanya nunggu di luar," jawabku.

Nazran yang dulu sudah berubah menjadi pria yang menyebalkan. Menyebalkan dalam artian membuatku kesal, bukan marah atau benci. Dia juga jadi lebih sering senyum atau tertawa menghinaku jika mendapati aku sedang bengong menatap wajahnya yang bersinar seperti habis digosok pakai berlian. Tampan kronis.

Aku juga heran mengapa ketampanannya itu terlihat nyata sekali beberapa hari belakangan. Apalagi hari ini. Apa karena frekuensi pertemuan kami semakin berkurang sehingga mataku dapat menangkap setiap partikel ketampanan yang menempel di wajahnya secara lebih detail?

"Kalau kamu mengidolakan saya, tinggal katakan saja," katanya sambil menatap lurus dengan satu tangan yang ia masukkan di saku celana.

"PD!" sanggahku. Jelas, aku tidak mau mengakuinya.

Dia melihatku dan mendekat. Sangat dekat. "Lalu kenapa dari tadi kamu menatap saya seperti itu? Sampai tidak berkedip?"

"GR!" aku membuang muka agar tidak kelihatan seperti orang yang sedang berbohong.

Tapi menyebalkannya, Nazran berusaha menggapai arah mataku. "Sudah saya katakan kamu tidak pintar berpura-pura."

Aku menatapnya galak. "Aku gak pura-pura!"

Dia malah tertawa kecil, membuat jakunnya naik turun. "Matamu tidak diciptakan untuk berbohong."

Into Divine Love (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang