Part 54

1.9K 251 9
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Kita terlahir dengan satu cara. Tapi kematian menjemput dengan berbagai cara. We only have one job, yaitu mempersiapkan diri.

~Into Divine Love

Karya : Syahda Khairunnisa ~

♥♥♥























Baik Shaka ataupun Athaya sama-sama membeku di tempat saat mendengar suara bass itu menjuru masuk ke telinga mereka. Ntah sudah berapa kali jantung Athaya dipermainkan hari ini, rasanya hidupnya tidak tenang karena diliputi rasa bersalah. Ia sudah seperti buronan yang dikejar-kejar karena kasus pembunuhan.

"I-tu, Om. Athaya m-mau cari udara segar. Kangen sama kota New York, jadi Shaka mau temenin," jawab Shaka beralibi. Ia menghembuskan napas lega setelah melihat kopernya Athaya sudah ada di luar.

"Cari udara segar harus pakai masker sama kacamata?" Mata cokelat itu menatap curiga.

"Athaya 'kan tampan, Om. Dia cuma gak mau jadi model gratis karena pasti banyak cewek-cewek yang minta foto sama dia nanti." Athaya menghela napas pelan. Sepupunya itu paling pandai jika sudah soal mencari-cari alasan. Athaya sendiri tidak yakin jika Papanya akan dengan mudah percaya begitu saja.

"Ya sudah, pulangnya jangan lama-lama. Besok pagi kita harus bangun cepat," imbuhnya.

Athaya menatap tidak percaya, semudah itu Papanya percaya? Apa karena selama ini mereka memang tidak pernah mencari masalah sebelumnya? Jadi Papanya dengan mudah percaya begitu saja. Banyak yang mengatakan, jika orang sudah sangat percaya dengan seseorang, ia akan percaya apapun yang dikatakannya. Tapi, jika sekali saja berbohong, maka sampai kapanpun rasa kepercayaan di akhir tidak seyakin di awal.

"Ya sudah kami pergi dulu, Om." Shaka buru-buru menarik tangan Athaya untuk langsung melompat.

"Tunggu."

Athaya menoleh. Jantungnya berdegup kencang. Hatinya mendadak tidak enak.

"Kenapa dari jendela? Pintu sebesar gaban gak muat untuk kalian berdua?" tanya pria itu seraya menaikkan satu alisnya seraya mengalihkan pandangan menatap pintu untuk keluar kamar.

"Anak laki, Om. Biasa, emang dari dulu kami suka lompat-lompatan dari jendela. Masa Om lupa?" Shaka terkekeh ringan, mengajak Om Herland mengenang masa lalu. Athaya hanya diam melihat aksi Shaka yang terus memainkan peran untuk mencari alasan. Pria itu lebih cocok jadi aktris, bukan pengusaha.

"Ada-ada saja. Ya sudah sana pergi. Nanti kemalaman."

Sebelum melompat, sejenak Athaya menatap Papanya. Wajah dengan rahang tegas itu dulu pernah sangat begitu menyayanginya. Sebelum otaknya dicuci sampai ia lupa apapun tentangnya di masa kecil.

Sejak kecil Athaya beserta Shaka dididik secara kristen, bahkan Athaya telah dibaptis ketika berumur sepuluh tahun dan saat berusia 18 tahun ia telah menjalani sidhi, yaitu pengakuan setelah seseorang dewasa tentang kepercayaan akan iman kristen di depan jemaat gereja.

Athaya juga selalu membaca Alkitab dan membaca buku renungan –semacam buku kumpulan khotbah– bersama keluarganya di malam hari. Seluruh keluarga Athaya beragama Kristen dan termasuk yang cukup taat dan aktif. Bahkan dari keluarga besar Papanya, seluruhnya beragama Kristen dan sangat aktif di gereja sehingga menjadi pemuka dan pengurus gereja. Sedang dari keluarga Shaka, nenek dari Mamanya dulunya beragama Islam, namun kemudian beralih menjadi Katholik.

Dulu semenjak dibaptis, Athaya adalah anak yang sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Tentu saja kegiatan keagamaan yang ia anut saat itu beserta keluarga besarnya. Bahkan ia sampai merasa kecintaannya pada agama Kristen demikian kuat mengakar dan terus bertambah kuat seiring pertumbuhannya menjadi pria dewasa.

Athaya sangat rajin ikut Sekolah Minggu, bahkan hampir tidak pernah absen. Dia selalu ingin mendengarkan cerita agama Kristen atau cerita dari Alkitab di Sekolah Minggu. Setiap pelajaran Sekolah Minggu dicatatnya dalam sebuah buku khusus. Cerita-cerita tersebut bahkan ia hafal sampai detail, sehingga setiap perayaan Paskah dan Natal Athaya selalu menjadi juara lomba cerdas tangkas Sekolah Minggu.

Pernah suatu ketika, karena Athaya sering sekali menang, seorang juri memberikan tes tersendiri. Hal ini untuk memastikan bahwa ia layak mendapatkan juara pertama, apalagi saat itu Athaya masih lebih muda dari peserta dan juara lainnya. Ternyata ia bisa menjawab pertanyaan juri tersebut. Akhirnya Athaya tetap mendapatkan hadiah, namun hadiah khusus di luar juara satu sampai tiga. Kebijakan ini untuk memberikan kesempatan pada peserta lain untuk menjadi pemenang.

Tapi, ketika Athaya menginjak usia delapan belas tahun, kepalanya mendadak sering sakit. Saat ia mencoba mengadu pada Papanya, bukan kasih sayang yang ia dapat namun bentakan dan marahan. Papanya selalu bilang kalau ia anak laki-laki yang lemah jika mengadu sakit. Dan semenjak saat itu, Athaya selalu menahan sendiri rasa sakit itu. Meski rasanya kepalanya mau pecah.

Di usianya dua puluh lima tahun, perasaan tidak tenang dan gelisah mulai menghantuinya. Sampai dua tahun setelahnya ia bertemu dengan seorang wanita yang berhasil menyentuh hatinya. Terlebih saat mendengarnya mengaji sewaktu ia masih menjadi sekretarisnya. Tapi ia belum menyadari dan masih bersikap semena-mena.

"Tha! Lo kok bengong, sih? Ayo pergi!" suara Shaka berhasil membuyarkan lamunan Athaya. Ia tersentak dan melewati jendela. Saat satu kakinya hampir sempurna keluar, suara lantang Papanya berhasil membuatnya berhenti.

"APA INI?!" Pria itu bertanya sembari mengangkat tinggi-tinggi Alquran di atas meja yang lupa dibawa oleh Athaya.














Cuma 800 kata :)

Tenang, double up, kok. Yuk, geser ⬇️

Siapkan komentar kalian :D














Bumi Allah, 10 Januari 2022.

Kalian bisa menemuiku di akun instagram : @syahdakhairunnisa_041004 dan @syahda_khair

Jangan lupa tag akun di atas jika men-copy sesuatu dari cerita ini.

Jangan lupakan Shalat dan tetap membaca Al-quran.
⚠️

~Syah

Into Divine Love (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang