B.P.Y.A 2.

12.9K 826 5
                                    

Aku senang hidup di rumah sakit jiwa ini, aku bahagia, aku bebas, tidak lagi ada yang berani menyiksa dan mengekangku.

Ibu Emma dengan senang hati membuatkanku kamar, bersebelahan dengan ruang kerja Ibu Emma, di lantai paling atas rumah sakit jiwa, lantai enam.

Karna aku mengatakan akan tinggal di rumah sakit ini lama dan mungkin sangat lama.

Ibu Emma menyambutku dengan senang hati, dia mengatakan sangat senang dengan kehadiranku, karna dengan itu dia mempunyai teman ngobrol atau sekedar bercanda, Beliau juga sudah menganggapku sebagai anaknya sendiri, anak yang tidak perna dia miliki.

Aku dengar dengar itu karna Almarhum suaminya mandul tapi dengan setianya Ibu Emma mendampingi Beliau, Ibu Emma, sangat mencintai suaminya.

Ibu Emma juga memberiku sebuah Deposito yang jumlahnya cukup fantastis, pemberian Bunda, Bunda memang telah mewanti wanti ini jika sesuatu terjadi padaku, saking sayangnya Ayah padaku tidak ingin aku hidup sendiri mengingat dia yang gila kerja, apalagi jika Bunda telah tiada.

Bunda memikirkannya dengan sangat detail, walaupun dia telah tenang di alam sana.

Aku memutuskan melanjutkan kuliahku, mengambil jurusan pisikolog, berencana membantu Ibu Emma di rumah sakit ini, memang aku telah lulus sekolah kedokteran, jurusan gizi Anak, walaupun sementara masa praktek, tapi aku cukup menguasai bidangku ini, dan beberapa kali berhasil, menjalangkan Opresi, otakku juga cukup encer, berkat didikan Ayah dan Bunda.

Aku juga bersyukur keduanya, Ibu dan Adik Tiriku, masih mengizinkanku untuk berangkat kuliah, mungkin juga itu karna Ayah yang selalu mengontrol nilai dan kehadiranku di kampus.

Hal itu pun di sambut Ibu Emma dengan senang dan bahagia, saat aku memberitahukan hal itu padanya.

 Sungguh aku bahagia, bertemu Ibu Emma di rumah sakit ini, aku tidak tahu bagaimana nasipku jika aku di masukkan di rumah sakit lain, aku sudah menganggap Ibu Emma sebagai Ibuku sendiri, seperti Bunda.

****

Hari ini seperti biasanya aku bersantai di taman rumah sakit, tampa adanya suster untuk mendampingiku, ini atas permintaanku pada Ibu Emma, dan Beliau mengizinkannya.

Alasan terpentingnya, aku telah sembuh untuk apa aku didampingi seorang Suster?.

Aku tetap  memakai baju pasyen rumah sakit jiwa agar semua yang melihatku tidak curiga dengan adanya aku yang berlalu lalang di rumah sakit, sekalian itu untuk berjaga jaga jika Ayah, Ibu dan Adik Tiriku datang untuk mengecek keadaanku.

Aku mengedarkan pandanganku, kesekeliling taman rumah sakit jiwa banyak sekali pasyen kurang waras, dari berbagai usia, bahkan ada anak anak yang aku prediksikan berumur sepulu tahun, dua belas tahun, dan lima belas tahun, kurang seperti itu, di dampingi para Susternya tampa adanya keluarga.

Aku mengerti dengan keadaan mereka, seperti aku, jujur kami hanya butuh kasih sayang keluarga, memberikan kami semangat, dan dukungan, bukan di kumpulkan di rumah sakit jiwa. Berkedok untuk kesembuhan kami sendiri yang mungkin saja untuk membuang kami, atau di karenakan rasa malu mempunyai keluarga kurang waras seperti kami.

Aku merasakan seorang tengah memperhatikan aku, tapi aku tetap diam di tempatku tampah menoleh, memperhatikan para pasyen yang tengah bermain main atau sekedar duduk duduk, sama sepertiku, memperhatikan sekitar atau sekedar menenangkan diri.

Perhatianku, sekarang fokus pada satu titik seorang anak kecil yang tengah asyik dengan bonekanya, duduk bersama Susternya, mengingat kanku masa kanak kanakku.

Seharusnya dia berada di rumah bersama kedua orang tuanya bermain, bukan di tempat ini, pikirku.

Aku bangkit dari dudukku, berjalan pelan kearahnya, dia yang menyadari keberadaanku, mendongakkan kepalanya dan tersenyum manis padaku, aku membalasnya dengan tersenyum manis pula, dia langsung bangkit dari duduknya, memelukku dengan erat, dan menangis, aku mengeryitkan dahiku, tidak paham.

Berserah Padamu ya Allah {Story 5}.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang