Gugur

17 3 0
                                    

Hidup adalah ekspekdisi. Tiada yang tahu apa yang akan terjadi dalam proses mencapai tujuan. Bisa saja jalan lancar. Namun bisa juga ada yang menghentikan laju sebelum mencapai tujuan. Bisa karena lampu merah, jalanan yang macet, atau karena hal tak terduga.
Kupikir tujuan hidupku adalah bahagia. Tujuan yang sederhana dan mudah untuk merealisasikan.

Bahagia itu tidak hanya karena hal besar. Untukku dicintai adalah sebuah kebahagiaan. Hingga saat Abim menyatakan cintanya, ada bahagia yang memenuhi diriku.

'ooh....jadi gini rasanya dicintai.'

Aku bahagia bersama Abim, terbukti tidak lagi duniaku terasa sepi. Hingga diriku lalai bahwa tak ada yang mulus dalam setiap perjalanan. Dan lihatlah tawa yang dulu berkumandang kala memulai kisah dengannya. Saat ini menjadi tangis tak terbendung.

' Anjing.'

Aku tak menduga kalimat manis yang biasa diucapkan padaku berganti menjadi sebuah umpatan. Iya, dia mengumpatiku.

'busuk'

'cara lo licik.'

Mataku masih lekat memandangi balon pesan yang dikirimkannya. Licik? Iya. Diriku sudah hancur, jadi tidak akan kubiarkan dia untuk tertawa setelah semua yang ia lakukan. Tindakan memberitahu Sekar soal hubunganku dan Abim dinilai licik. Bukan berharap agar mereka putus. Atau Aku tidak ikhlas melepasnya. Hanya agar tak ada lagi yang terjebak dalam keserakahan. Hanya satu hal yang dapat dipilih untuk urusan hati. Jika kau bilang dua itu bearti serakah.

Perjalanan dapat terhenti karena diri sendiri. Mungkin ada janji yang mendadak, lupa jalan, atau bimbang. Seperti hidup yang mengalami kegagalan bisa juga karena diriku sendiri. Aku tidak mengatakan diriku benar dan sepenuhnya Abim salah.

' Lo tuh cepu. Selalu bawa orang lain ke hubungan kita.'

Meski keadaan yang mendorongku, benar bahwa salah membawa orang lain dalam hubungan. Aku mulai.belajar bahwa masalah yang terjadi harus kuselesaikan sendiri. Dan kesalahnku adalah tidak menyadari perasaanku sendiri. Ingkar akan rasa yang sudah diri validasikan.

Setiap keputusan memiliki resiko. Entah baik atau buruk. Karena telah mengambilnya, resikopun menjadi satu paket yang harus diterima. Malam ini aku akan jujur. Jujur akan perasaanku. Sudah sedari tadi percakapanku dengan Aji berlangsung di telepon. Dan pernyataannya yang masih menyayangiku menjadi tamparan keras.

Ternyata saat Aku asyik menceritakan hal-hal indah bersama Abim, mengeluh ketika bertengkar dengan Abim. Bisa jadi saat itu dia menahan sakit yang tidak pernah sadar kugoreskan.

"Gue sayang lo juga, Ji. Gue boleh berjuang buat lo gak?" Ucapku setelah sekian menit hening.

' Enggak. Gue udah mengakhiri semua perasaan gue ke elo. Gue cuma mau kita temenan. Gue nggak mau lagi terjebak sama lo.'

Tubuhku sudah bergetar berkat tangis yang tanpa permisi datang. Ada yang mencekat jantungku hingga terasa sesak di dada. Sesaat diriku lupa cara bernapas. Ini jauh dari ekspektasiku. Ku kira mengakhiri hubungan dengan Abim lalu jujur soal perasaan pada Aji akan menjadi awal baru untuk kita. Kita? Rasanya belum pantas untuk disebut kita ataupun kami.

"Gue sayang sama lo, Ji. Ijinkan gue buat perjuangin elo." Suaraku purau.

Ada helaan nafas panjang dari seberang sana, "Enggak. Gue dulu memang mencintai lo diam-diam,Flo. Dan gue tetap disini gak berani maju. Gue pingin banget jauhin lo. Tapi gak bisa. Sayang gue terlalu besar sama lo."

Aku makin terisak. Sadar bahwa diriku jahat. Bagaimana bisa kuceritakan dan keluhkan masalah ku dengan cowok lain pada orang yang menaruh hati padaku. Saat ini bumi terasa berhenti berputar.

"Kasih gue kesempatan, Ji." Pintaku.

' Enggak. Gue udah gak bisa. Kita berdua sampai disini. Gue udah gak mau nerima perasaan itu lagi.'

Kalau menjadi Aji pasti kutolak pula memberi kesempatan.

" Kenapa lo selalu gini? Gak pernah kasih kesempatan buat perjuangin lo? Lo bikin perasaan itu seperti gak bersambut. Padahal dari dulu lo tahu gue sayang sama lo."

Iya, dulu sering kulontarkan bahwa aku menyayangi Aji disela gurauan. Agar hanya dianggap candaan. Aku terlalu cupu untuk mengakui perasaan.

'Udah. Gue gak mau nurutin kata-kata lo.Cukup rasa sakit yang gue rasain selama ini. Gue gak mau lagi. Gue blok lo sekarang. Jangan hubungi gue lagi. Lupain semua tentang gue. Dan lo hanya orang asing buat gue. Makasih, Flo.'

Dan panggilan berakhir begitu saja. Bahkan Aku belum sempat meminta maaf. Kubanting ponsel ke lantai. Tubuhku kini berjongkok memeluk erat lututku dan menangis.

"Aji Gue sayang lo."

"Jangan pergi Ji."

"Kasih gue kesempatan."

Aku tahu rengekanku tak akan terdengar ataupun sampai pada Aji. Semua jauh dari bayangan yang telah kurangkai. Malam ini mungkin Aku akan menangis karena menyesal putus dengan Abim. Nyatanya keliru malah Aji yang menjadi alasanku. Isakku makin keras bersamaan dengan sesak yang menjalar di dada. Aji pergi, beberapa kali kucoba menghubungi kontaknya. Tak ada sahutan. Bahkan sudah tak tersampaikan.

"Ji, lo beneran tinggalin gue? Gue harus gimana kalau gak ada lo?"

Berhakkah Aku meminta Aji untuk tetap disini? Tuhan bisakah Aku diberi kesempatan? Aku telah menaruh luka pada orang yang menjadikanku bahagianya. Boleh Aku meminta kesempatan untuk memperbaikinya?.  Aku yang selalu takut Aji bersedih. Ternyata Aku adalah hal yang memberi kesedihan untukknya. Dan Aku kecewa pada diriku sendiri.
***
Harusnya pagi ini Aku sudah berada dikampus melakukan konsultasi dengan dosen pembimbing. Namun yang terjadi saat ini malah aku duduk dilantai memeluk kedua lutut sejak tadi malam. Semalam suntuk diriku menangis. Ada sesak yang tak kunjung pergi.

"Flo."

"Buyut."

Suara bersahutan itu berasal dari Ciya dan Laya. Sejak semalam mereka menggedor pintu kamar. Namun Aku memilih untuk mengabaikannya. Diriku masih belum siap menemui mereka.

'brak'

Pintu terbuka kasar. Wajah yang semula kutundukkan kini melihat kearah pintu. Kedua sahabatku tergesa mengahmpir. Laya membawaku dalam dekap yang kemudian Ciya susul.

"Laya...."
" Ciya...."
"Aji pergi. Dia bilang gak mau kenal gue lagi. Gue-"

Ucapanku terhenti sebab tangis yang makin kencang. Bahuku bergetar yang kemudian di tepuk pelan oleh Laya.

" Enggak papa,Flo. Nangis dulu aja."

"Buyut sedih aja enggak papa. Kita temanin."

Benar. Menangis bukan hal yang salah. Atau cerminan lemah. Menangis adalah cara terampuh untuk mengatasi kesedihan. Tak perlu memaksa untuk tertawa saat tak ada sebab. Jika sedih silahkan menangis. Dirimu bukan beton yang harus berdiri kokoh. Kita hanya manusia yang Tuhan anugerahkan emosi. Dan tiap manusia bebas mengeluarkan emosinya.

Pelukan hangat Laya dan Ciya turut menyadarkanku bahwa Aku tidak sendirian. Dan saat beberapa tangan orang melepas. Akan ada tangan lain yang meraihku agar tak limbun. Dan begitulah cara kerja semesta.

Soulmate : HAI AJI [END] DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang