Titik

133 9 1
                                    

Titik, iya kita berawal dari titik yang kemudian berubah menjadi garis. Pertemuan kita adalah unsur paling kecil dari segala kisah yang akan kita jelajah. Unsur kecil yang bila tidak ada tak akan pernah dimulai serangkai kisah ini. Seperti titik yang menjadi unsur terkecil dalam seni rupa. Tidak akan ada garis tanpa adanya titik. Maka kita tidak akan ada bila tak ada pertemuan tidak sengaja hari itu.

Hai,Aji.

****
Solo, kota yang menjadi tempat lahir sekaligus menimba ilmu dari Tk sampai masuk jenjang kuliah selalu sama panasnya. Pukul 13.00 WIB, Aku duduk di kedai pak Umar sambil meneguk segelas es teh manis dengan es batu banyak yang sekarang tehnya tinggal setengah gelas. Menyisakan es batu yang melimpah ruah. Dengan santainya Aku kunyah es batu tadi. Yah, kalian seperti aku tidak? Suka maksn es batu. Rasanya asyik gitu, kriuk- kriuk. Gurihnya keripik bakal kalah deh sama renyahnya es batu.

"Ya Allah Flo. Jangan makan es batu kaya gitu. Kasian itu saraf lo."

Itu tadi yang baru selesai bicara namanya Jilaya. Supaya ringkas kupanggil Laya. Mahasiswi jurusan keperawatan yang lagi sibuk ngurusin revisi skripsi. Semangat, Laya!.

"Ini sayang banget kalau gak dimakan. Mana melimpah gini. Ya kan pak?"

Aku menengok ke arah pak umar yang baru aja menaruh seblak pesanan Laya di meja.

"Serah lu dah,Flo. Batu emang."

Begitulah sahabatku satu ini. Suka banget ngomel-ngomel pada diriku. Padahal dia tahu sifatku seperti batu. Tapi, setidaknya berkatnya. Pola hidupku mulai tertata. Dia yang awalnya mau mengomeliku. Sepertinya tidak jadi dan lebih memilih untuk menyantap seblaknya.

" lCAPE!"

Kalau teriak kenceng dan agak frustrasi gini. Sudah bisa ditebak pasti Ciya. Mahasiswa baru jurusan PGSD yang tiap selesai kelas kerjaannya ngeluh capek. Heran, dia pas kelas tuh diam memdengarkan dosennya atau salto 50 kali? Capek terus. Aku sebagai sahabatnya jadi kasihan.

"Abis salto apa abis kelas deh?" Tanyaku sambil melirik kearahnya yang sekarang duduk disamping Laya.

"Ih... Ya Abis kelas dong,buyut." Rutuknya diakhiri dengan memanyunkan bibir.

Tolong jangan salah sangka. Dia bukan cicit ku. Bukan. Hanya dia terbiasa memanggilku begitu. Pasrah saja. Toh, bakal kalah juga kalau berdebat dengan Ciya.

"Capek terus sih. Ya dikira salto dikelas." celetukku.

"Kak Laya tuh buyut flo nakal."
Ciya mengadu pada Laya.

Laya yang tadinya asik makan seblak. Akhirnya memandang Ciya.

"Sebenernya gue juga penasaran deh,Ci. Lu beneran salto ya?"

Aku tertawa mendengar ucapan yang Laya lontarkan. Ciya makin cemberut mendengar respon Laya. Niatnya minta pembelaan malah digaramin. Poor, Ciya.

"Mending pesan indomie rebus ke pak umar aja."

Ciya berdiri dari duduknya menuju ke Pak Umar. Sedang Aku dan Laya terkekeh dengan sikap Ciya. Dia yang paling termuda diantara kami bertiga. Dan Aku? Sapa saja Aku Flo, mahasiswi jurusan Ilmu hukum yang masih mager mengerjakan skripsi.

Kami bertiga saling kenal karena hobi yang sama. Hobi paling terkenal didunia. Apalagi kalau bukan halu tentang cowok korea. Waktu itu ada satu acara gathering fandom. Kebetulan kita bertiga ikut dan pertemuan tidak terduga itu membawa pertemanan kami sejauh ini.

Ciya kembali bergabung setelah memesan indomie rebus ke pak Umar.

"Mau jajan di angkringan kapal."
Ucap Ciya yang baru banget duduk di bangku sebelah Laya.

Soulmate : HAI AJI [END] DAY6Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang