Sirat Pandangan

35 7 4
                                    

"Kalau begitu saya pamit pulang ya, Om, Tante, Aisyah dan... Rama. Terimakasih atas jamuannya, maaf jika saya sudah merepotkan kalian." Ucapnya pemuda itu tersenyum kecil dengan pandangan menunduknya.

"Ah... Ustadz, tidak apa-apa kok. Sama sekali tidak repot, malah saya senang bisa bertemu langsung dengan Ustadz ini. Sekali lagi saya berterimakasih karena Ustadz Adnan ini sudah menolong putri saya."

"Iya nak. Tante juga mengucapkan terimakasih banyak sama nak Adnan. Terimakasih juga sudah mampir di tempat kami. Ini, Tante ada sedikit bingkisan buat nak Adnan dan sekeluarga dirumah. Diterima ya." ucapnya sambil memberikan paper bag hitam padanya.

Pria itu terkejut dan menatap bingung kepadanya."Tapi Tante, ini... berlebihan."

"Tidak apa-apa nak. Anggap saja itu sebagai rasa terimakasih Tante karena nak Adnan sudah berjasa menyelamatkan putri Tante."

Diapun mengangguk dan mengulum senyum."Hm, terimakasih banyak. Kalau begitu, mari." dia berjalan menghampiri dua orang tua tersebut, lalu menyaliminya. Setelah selesai, diapun berjalan kearah kendaraanya sambil memasang helemnya.

Sejak dari tadi, Rama. Pemuda itu terus saja menatap dirinya dengan sengit dalam diam. Siratnya datar, juga mata tajamnya memincing sengit. Tak ayal sebenarnya dia juga merasa malu karena sudah salah faham kepadanya, mana dia seorang Ustadz lagi. Hadeuh...

Dan sejak dari tadi juga Aisyah menatap pria itu dalam diam. Tidak memandang langsung secara terang benderang bertatap muka secara langsung, hanya menatap tubuh belakangnya saja. Bibirnya sedikit berkedut ketika mengingat pria itu menolongnya dari masa tawuran pelajar tadi. Jika tidak ada dirinya, entahlah... mungkin dia akan masih berada di tempat itu dan menangis sendirian karena ketakutan.

Alhasil, raut wajahnya mendadak panas dan bersemu malu ketika sadar bahwa pria itu bukanlah pria sekedar pria biasa, melainkan Ustadz muda yang memang cukup terkenal. Dia jadi malu sendiri mengingat sikapnya yang ceroboh. Aish...

Dengan tidak disadarinya, kakinya malah melangkah menghampirinya. Kepalanya menunduk dan tangannya saling berbelit gugup di depan perutnya. Sedangkan ketiganya bereaksi bingung dan terkejut secara bersamaan.

Rama, pria itu mau berteriak menghentikan kakaknya, namun urung malah jadi merintih kesakitan karena tiba-tiba saja Umi nya mencubit pinggangnya dengan memolotinya. Auto kiceup dia, menciut seketika. Abi nyapun kini sudah bersikap biasa. Dia faham dan tahu betul bagaimana peringai dan sifat putrinya itu dan sebetulnya juga dia cukup kagum oleh pemuda tersebut.

Saat Adnan sudah duduk dan bersiap melaju, tiba-tiba saja Aisyah berdiri di dekatnya dengan jarak satu meter."Ustadz,"

"Ya?" saat dia menoleh, dia terkejut mendapati gadis itu berdiam dengan menundukkan kepalanya dengan tangan yang bertautan.

"..."

"Ada apa Aisyah?..."

"Ustadz, saya mau..."

"Mau? Mau apa Aisyah?" jawabnya lembut.

BLUSH

Rona di wajahnya mendadak muncul lagi. Maka diapun langsung menunduk dalam lagi."Saya mau... mau mengucapkan terimakasih banyak sama Aa... ah, Ustadz Adnan maksudnya. Terimakasih dan minta maaf atas sikap adik saya tadi. Sekali lagi saya berterimakasih sekali. Tanpa Ustadz, mungkin saya tidak akan sampai di sini dan masih ada di sana."

A ustadz?...

Pria itu mengulum senyum tipis mendengarnya. Gadis itu terlihat gugup dan lucu di pengelihatannya, apalagi tadi dia sempat menyaksikan rona merah di wajah putihnya. Eh! Astagfirullahaladzim...

Dia langsung mengalihkan pandangannya."Iya sama-sama. Kalau begitu, mari." sekali lagi dia menatap ketiga orang tersebut yang tidak jauh berdiri di belakang gadis tersebut."Mari Om, Tante. Saya pamit. Assalamualaikum..."

"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarokatu." koarnya serentak tersenyum dan mengangguk kecil dan pada akhirnya pria itupun pergi melenggang dengan motornya. Aisyah masih melihat kepergian ya, sedangkan Umi dan Abi nya sudah pergi masuk ke dalam rumah.

PUK!

"Teh."

Diapun berjengkit kaget dibuatnya."Astaghfirullahaladzim... Rama. Kamu ngagetin Teteh!"

"Udah kali Teh... diliatin terus dari tadi, dianya udah pergi juga. Teteh ngapain masih diam di sini? Nggak mau masuk?..."

"Iya... nanti Teteh juga masuk."

"Ya udah, ayo kita masuk." rangkulannya langsung pada tubuh sang kakak.

"Tapi..."

"Tapi apa sih Teh? Teteh mau sampai kapan liatin dia pergi? Noh udah jauh juga. Jangan-jangan... Teteh suka ya sama dia? Astaghfirullah... sadar Teh. Iss si Teteh, gitu ya sekarang..."

"Ck apa-apaan sih dek. So tau kamu!"

"Yee... dibilangin juga. Bener kan kata aku Teteh suka sama si Ustadz-Ustadz tadi."

PLAK

"Akhwh... kok Teteh pukulin Rama sih? Sakit tau..."

"Mulutnya di jaga dek. Dia itu Ustadz jangan sembarangan ngatain, kualat baru tau rasa kamu."

"Hehehe... iya-iya, maafkeun kalau gitu. Lagian Teteh tadi bicara apa sama dia? Aku kaget loh pas Teteh malah nyamperin dia. Aku mau denger dan nyamperin Teteh, eh Umi malah cubit pinggangnya aku Teh. Sakit tau rasanya..." adunya dengan tampang memelas.

Tanpa disangka-sangka diapun tertawa lirih sambil memeluk tubuh bongsor sang adik, lalu mengusap pelan perutnya yang sejak tadi di usap pelan tersebut."Ulu-ullu... kasihan sekali adeknya Teteh. Sini Teteh obati biar cepat sembuh."

"Uhuy... rasa sakitnya udah ilang Teh. Berkat Teteh, lukaku sembuh! Duh jadi makin sayang deh sama si Teteh. Teteh siapa sih ini? Ututu... gemasnya Tetehku ini." aksinya malah menangkup wajah dan mengusap lembut pipi sang kakak yang mendadak merona jika dipuji ataupun merasa malu tersebut.

"Dasar..." dan keduanyapun tertawa sambil berpelukan. Lalu pergi menyusul kedua orang tuanya.

AISYAHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang