DIH [13]

146 18 4
                                    

Haii apa kabar? hehe maaf ya lama ga update. aku sempet hapus wattpad karena lagi sibuk banget sama sekolah dan masalah internal. Jujur udah agak lupa sama alur jadi aku baca dari awal lagi 😔 cringe deh ya baca cerita sendiri sojwkw tapi gapapa 😎

buat reminder aja, cerita ini gak ikutin alur asli jadi kalau ada perbedaan timeline atau apapun mohon di maklumi. aku terakhir kali baca manga nya itu pas babang draken mati :) jadi udah lupa2 inget tapi gapapa 😎😭

ok <33

Draken masih menatapku dengan ekspresi khawatir, tangannya masih di punggungku, seakan memastikan aku tidak jatuh lagi. Sial. Kenapa aku harus punya bayangan Emma yang menyeramkan di saat seperti ini?

"Maaf," ucapku pelan, masih berusaha menenangkan diri. "Aku cuma... ya, kepalaku tiba-tiba sakit."

Draken menatapku tajam. "Kau yakin baik-baik saja?"

Aku mengangguk cepat. Tidak ingin membuatnya lebih khawatir. "Aku baik-baik saja, sungguh."

Tatapan Draken seolah menembus jiwaku, seakan dia bisa membaca pikiranku yang sebenarnya. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya melepaskan tangannya dari punggungku, namun tetap menjaga jarak dekat.

"Kalau begitu, kau harus istirahat," katanya, nada suaranya kembali tenang, meski masih ada sisa kekhawatiran di matanya. "Jangan terlalu memaksakan diri."

Aku hanya bisa mengangguk, merasa sedikit bersalah. Jujur saja, tubuhku memang kelelahan, tapi pikiranku jauh lebih berantakan.

"Besok, aku akan ada di sini lagi," katanya sebelum berjalan menjauh. "Kalau kau butuh sesuatu, atau hanya ingin bicara, temui aku."

Aku tidak menjawab, hanya melihat punggungnya yang menjauh hingga dia menghilang di tikungan jalan. Setelah Draken pergi, aku menghela napas panjang. Tidak tahu harus merasa lega atau semakin cemas.

Besok... ada Hanma. Tapi Draken juga akan ada di sini. Bagaimana aku bisa menghadapi dua orang itu di waktu yang sama?

Aku memegang kepalaku, yang sekarang mulai terasa sedikit ringan setelah kejadian aneh tadi. Pikiran tentang Emma dan tragedi yang akan terjadi masih menghantui, tapi aku harus fokus pada tujuan utamaku: menemui Kisaki.

Malam itu terasa panjang. Aku tidak bisa tidur nyenyak, terus terbayang-bayang tentang pertemuan besok. Hanma, Kisaki, dan Draken. Satu kesalahan kecil, dan hidupku mungkin akan berakhir dengan cara yang tidak pernah aku bayangkan.

---

Keesokan paginya, aku sudah berdiri di depan gedung tua yang sama, seperti janji Hanma. Udara pagi terasa dingin, napasku membeku setiap kali dihembuskan. Tanganku sedikit gemetar, entah karena udara atau rasa gugup yang mulai melanda.

Pintu gedung berderit ketika aku membukanya, dan aku berjalan menaiki tangga yang sudah mulai familiar. Saat sampai di rooftop, Hanma sudah ada di sana, berdiri dengan sikap santainya, sebatang rokok di tangannya seperti biasa.

"Kau datang," katanya tanpa menoleh.

"Tentu saja," balasku, berusaha menahan getaran di suaraku. "Aku butuh bantuanmu, ingat?"

Hanma berbalik, menatapku dengan senyum sinis. "Dan aku penasaran, kenapa kau sangat ingin bertemu Kisaki? Apa yang kau inginkan dari dia?"

Aku menarik napas, berusaha menenangkan diri. "Aku... aku punya urusan dengannya. Sesuatu yang penting."

"Urusan apa?" Hanma mendekat, tatapannya tajam, seakan ingin menelanjangi pikiranku. "Kau bukan tipe yang akan main-main dengan orang seperti Kisaki. Jadi, apa yang sebenarnya kau inginkan?"

Aku menggigit bibirku, menimbang apakah aku harus jujur atau tidak. Tapi Hanma tidak memberi banyak pilihan. Jika aku ingin dia membantuku, aku harus memberinya alasan yang cukup.

"Aku... aku ingin menghentikan sesuatu yang buruk. Sesuatu yang akan terjadi jika aku tidak bertemu dengan Kisaki."

Hanma menaikkan alisnya. "Oh? Dan kau pikir Kisaki akan mendengarkanmu?"

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Hanma tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. "Kau ini benar-benar nekat, y/n. Tapi kurasa itu yang membuatmu menarik."

Aku mengerutkan kening, merasa bingung dengan ucapannya. "Apa maksudmu?"

Hanma mendekat, kali ini jaraknya hanya beberapa inci dariku. "Kisaki bukan orang yang mudah diajak bicara, apalagi oleh seseorang sepertimu. Tapi kau berani datang padaku, meminta bantuanku, meskipun kau tahu risikonya."

"Aku tidak punya pilihan lain," balasku, mencoba terdengar tegas. "Kalau aku tidak melakukan ini, hal buruk akan terjadi."

Hanma tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kudukku meremang. "Baiklah. Aku akan membantumu. Tapi ingat, y/n, setiap bantuan ada harganya."

Aku menelan ludah, perasaan tidak enak mulai merayap. "Harga apa?"

Hanma hanya tertawa kecil, menepuk bahuku dengan ringan sebelum berbalik. "Kau akan tahu nanti."

Dengan itu, dia berjalan pergi, meninggalkanku sendirian di atas rooftop, angin dingin menghempas wajahku. Aku tidak tahu apa yang baru saja aku setujui, tapi yang pasti, tidak ada jalan kembali sekarang.

TBC

GATAU DEH MASIH ADA YANG BACA APA GAK WKEKWK 😭👊 Tapi gapapa aku bakala selesaikan...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Draken, i'm hereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang