Aku membuka mata perlahan, kuperhatikan sekitar. Ruangan luas dengan dinding dan lantai serba putih, terdapat sebuah ranjang dan seseorang terbaring di atasnya. Ada banyak pria memakai jubah hijau dengan penutup kepala dan sarung tangan mengelilingi, aku mengerutkan kening mendapati pemandangan saat ini. Aku ingat betul aku sedang bersama Zeavan, kami berpisah karena Zeavan mendengar suara mencurigakan di depan kamar Grey, karena itu aku masuk ke kamar Grey lebih dulu dan menemukan Grey sudah tewas.
Lalu ... lalu kenapa aku ada di sini? Di mana ini? Apa aku berpindah halaman seperti waktu itu? Atau apa? Aku sudah cukup terkejut dengan keadaan Grey, dan saat ini aku harus temukan apa lagi? Tuhan, aku benar-benar lelah. Aku memejamkan mata, menarik napas perlahan sebelum berani kembali menatapi sekitar. Aku lihat lagi pria-pria berpakaian serba hijau yang berlomba dengan layar dan waktu, aku tidak tahu siapa yang sedang mereka coba selamatkan tetapi aku tidak cukup penasaran untuk melihatnya. Aku putuskan untuk melangkah keluar meninggalkan kerumunan tersebut, di bagian luar ada dua orang yang menunggu. Wajah mereka tampak cemas, mungkin dua orang ini keluarga atau teman dekat.
Kalau aku perhatikan, wajah gadis ini mirip ... Aylene? Aylene!?
"Bagaimana kalau dia tidak selamat?"
"Kau mendoakannya mati cepat? Kau temannya, 'kan? Kenapa pesimis? Teman itu mengharapkan yang paling baik, bukan memikirkan hal buruk." Pria berkacamata berdiri di samping Aylene, memakai kemeja yang sudah tidak lagi berbentuk karena banyak lipatan dan noda menatap lawan bicaranya dengan wajah sinis. Pria berkacamata dengan kata-kata sinis, penyuka kembang gula, maniak boneka barbie dan selalu merokok sepanjang waktu; dia editorku. Pria yang berdiri di hadapanku ini ... pria yang tengah memaki ini, Alvonse. Apa benar aku sedang melihat Alvonse dan Aylene sekarang? Apa aku tidak berilusi? Bagaimana ... bagaimana mereka bisa ada ....
Tidak, tidak. Bukan mereka yang ada di Allegra, bukan mereka yang ikut bergabung denganku di dunia aneh itu. Dunia yang aku anggap novel buatanku, bukan mereka, tetapi aku. Aku, aku yang kembali ke dunia asalku. Napasku seperti terhenti dan dadaku terasa seperti ditekan benda berat, sesak, aku sesak. Aku mencoba menatap ke arah Aylene dan Alvonse lagi, memastikan jika aku masih jadi salah satu dari mereka.
"Bukan begitu! Kau gila ya!? Kau pasti sudah gila!" teriak Aylene pada Alvonse, tangan kecilnya yang tampak gemetaran memukuli dada Alvonse.
Aylene ... maafkan aku.
"Iya, coba pikir saja. Bagaimana dia bisa mati setelah dia terkenal!? Bagaimana dia bisa mati setelah impiannya terwujud!? Bagaimana dia ... dia bisa mati setelah mengajakku berdebat tentang sinopsis novel barunya!? Bagaimana dia bisa ... dia bisa mati dengan mudah setelah membuat orang sekitarnya jadi peduli padanya? Bagaimana? Kau pikir aku baik-baik saja? Kau pikir hanya kau saja yang sedih? Karena aku dan dia hanya rekan kerja? Karena aku bukan temannya? Itu yang kau pikirkan? Coba katakan padaku, apa yang ada di pikiranmu, katakan!"
Alvonse! Alvonse! Cukup ... jangan marahi Aylene, jangan bentak dia brengsek! Kau itu yang bagaimana? Kau itu yang bagaimana bisa membentak Aylene yang lemah dan sering menangis! Dasar sialan!
Aku berjalan mendekati Alvonse dan berusaha menghentikannya; nihil. Aku tidak bisa menggapai kalian.
Hentikan ... jangan membentaknya. Aku terduduk lemas di lantai rumah sakit, sekencang apa pun aku berteriak tidak akan ada yang mendengarku, sekencang apa pun aku memanggil kalian tidak akan tahu aku ada di sini. Sesak sekali, sesak sekali sampai ingin meledak rasanya. Hatiku sakit, bahkan lebih sakit ketika aku harus menghadapi kematian itu sendiri. Biarkan saja aku mati, biarkan saja, hiduplah kalian dengan bahagia.
Kalau aku mati lalu kenapa?
Aku mencoba mengatur napas, air mata kuseka perlahan dan kembali fokus untuk melihat dua orang penting di hidupku. Pandangan memudar karena tangisan, dan tubuhku memanas karena keadaan. Bukan hanya aku, aku bisa melihat jika dua orang di hadapanku sudah menangis sejak tadi. Bahkan Alvonse yang aku kira tidak punya rasa empati, aku tidak menyangka jika dia menganggapku sepenting itu. Haha.
Jadi, selama ini dia peduli padaku? Dia tidak hanya menganggapku sumber uangnya? Lucu sekali, dasar tsundere akut, bisa-bisanya dia berbohong padaku. Harusnya kau katakan itu dari dulu, aku pasti akan mentraktirmu kopi setiap hari, aku pasti ... aku pasti akan membelikanmu makan siang setiap hari. Dengan Aylene juga, aku pasti akan mengunjungi Aylene setiap malam, aku pasti tidak akan bohong pada Aylene. Setiap akhir pekan aku akan membawanya ke kafe dan kami akan makan keik sampai muntah, seperti waktu itu, haha. Ayleneku yang manis.
Sayang, aku sudah mati.
Aagh! Aaaghh! Aku berteriak sekencang mungkin, aku benar-benar berteriak dan berharap tenggorokanku putus. Hingga tanpa sadar aku sudah kembali ke ruangan Grey.
"Hei, hei! Noir, Noir! Kau dengar aku? Hei!" Zeavan mengguncang tubuhku beberapa kali agar aku menjawabnya, aku tidak tahu apa yang dia lihat, aku tidak tahu apa yang aku lihat, aku sungguh tidak tahu apa-apa. "Hei? Kenapa kau menangis dan berteriak? Kau terkejut karena melihat Grey? Jangan menangis ...."
"Zeavan aku ... Zeavan aku sudah mati, aku sudah mati dan orang yang memedulikanku sedang menangisiku, aku ... aku tidak tahu harus bagaimana," lirihku pelan, perlahan aku dongakkan kepala untuk menatapnya. Wajah sudah penuh air mata, tidak ada tenaga yang tersisa bahkan untuk meraih tangan Zeavan dan menggenggamnya.
"Apa? Omong kosong macam apa itu? Siapa yang mati? Yang mati itu Grey, bukan kau, kenapa kau bicara omong kosong begini? Sudah diam. Diam dan jangan bicara lagi, diam." Zeavan memelukku dengan sebelah tangannya, tangan lainnya sibuk merogoh ponsel di saku untuk menghubungi orang lain. "Ini aku, Grey tewas. Kashira tidak bisa dihubungi, sekarang bantu aku bersihkan mayatnya dan cari tahu tentang ini. Ya, aku sedang tidak bisa bergerak, tidak, aku masih hidup karena itu aku bisa menghubungimu. Noir juga masih hidup, cepatlah, kita tidak punya banyak waktu." Zeavan mematikan ponselnya sebelum melirik ke arahku, aku masih dipenuhi air mata, seperti ada yang mengaduk-aduk perut dan menusuk jantungku dengan benda tumpul. Apa yang aku rasakan saat ini benar-benar mengerikan.
"Kau masih ingin menangis? Berdiri dulu, kita pulang, kau bisa menangis di mobil. Hm ... kau bisa berdiri?" Zeavan menatapku ragu, aku balas menatapnya tanpa menjawab. Aku ingin bilang bisa tetapi lidahku kelu, aku tidak bisa mengucapkan satu patah kata pun setelah Zeavan memintaku diam barusan. "Tch, ya sudah. Berusahalah tenang, kalau tidak bisa, berusahalah untuk menahannya sedikit. Jika kita tidak pergi dari sini secepat mungkin, akan bahaya, aku tidak temukan orang mencurigakan itu tetapi aku yakin dia satu-satunya petunjuk atau bahkan dia yang menghabisi Grey." Zeavan bicara sendiri seolah masih peduli untuk memberitahuku apa yang terjadi. Aku bisa merasakan tubuhku terangkat ke atas dan ditopang kedua tangan kurus Zeavan.
"Tidak apa-apa, kau pasti hanya berilusi, kau hanya ketakutan karena melihat jasad Grey. Tidak apa-apa, jangan takut, kau baik-baik saja. Lihat dirimu, kau masih hidup dalam pelukanku. Benar, 'kan?" tanya Zeavan padaku pelan, bibirnya tersenyum tipis sebelum akhirnya ia mendekapku dan kami pergi meninggalkan gedung tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETED - TERBIT E-BOOK ]
Fantasy[ Daftar Pendek The WattysID 2021 - Nominasi Pemenang ] Gadis itu sudah mati, pria itu masih hidup. *** "Jadi, Anda ini apa? Anda semacam dewi? Penguasa? Bagaimana bisa Anda terjebak di sini? Bahkan sepertinya, Anda mudah sekali untuk dihabisi." ...