Page seven

911 200 19
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

"Terkutuklah! Terkutuk seumur hidupmu!"

"Tangan penuh darah terkutuk! Kau tidak akan bisa hidup dengan sempurna!"

"Mati! Mati saja!"

"Matilah! Matilah semua keturunannya!"

"Kami menunggumu di neraka! Kami menunggu di neraka!"

"Diam!"

Sepasang mata yang tadinya terpejam itu terbuka secara paksa, suaranya keras, berteriak. Pundaknya naik turun beriringan dengan napas yang putus-putus.

Peluh sudah mengalir sejak tadi, membasahi wajah dan tubuh yang ia rasa sudah mati.

Pria dengan netra gelap itu perlahan menyadari keadaannya, napasnya, detak jantungnya, pandangannya. Ia menatap sekitar, dinding putih dengan banyak lukisan, lemari penuh buku, jam dinding yang menunjukkan jelas pukul sembilan pagi.

Dengan hati-hati, ia gerakkan jemarinya menyentuh wajah, tangan dan dadanya - berdetak. Tubuhnya hangat, tanda-tanda yang cukup untuk menandakan sebuah kehidupan. Hening menyapa, tidak ada ketukan pintu, tidak ada suara panggilan, tapi ia tersenyum.

Bibir tipis itu kini tersenyum dengan segala keadaan barunya sekarang.

°°°

Aku melangkah keluar dari kamar mandi dan menatap Zeavan yang masih duduk di kursi.

Hm. Apa aku terlalu membuat Zeavan menderita? Apa aku terlalu kejam dengan anak laki-laki satu ini? Kalau kuingat-ingat lagi, dia tidak pernah benar-benar bahagia. Dia hidup pun hanya karena di selamatkan Chello, tidak ada tujuan sendiri, tidak ada mimpi. Bahkan setelah bertemu dengan pujaan hatinya, mereka tetap tidak bisa bersama karena Zeavan yang berakhir ditembak mati Chello.

Padahal dulu, aku tidak merasakan apa-apa saat menulis kisahmu dengan tinta.

"Sudah selesai? Sedang apa di sana? Menatapku diam-diam? Jangan lakukan lagi, itu mengerikan." Zeavan menoleh dan menatapku dengan tatapan curiganya.

Aku ingin sekali memukulmu. Ya Tuhan, sepertinya aku memang punya insting yang bagus kenapa membuatnya menderita. Karena dia begitu menyebalkan.

"Aku hanya ingin tanya, apa tidak ada pakaian lain yang bisa kupakai? Aku bahkan tidak bisa bedakan, sedang pakai kaus atau sedang pakai terusan." Aku menatap kaus dan celana yang kupakai. Kaus lengan pendek yang panjangnya mencapai lutut, sementara celana, jangan tanya lagi.

Zeavan menatapku pelan dari atas kepala hingga ujung kaki, lalu tertawa singkat.

"Kenapa kau pakai pakaian orang lain? Kau bahkan tidak izin untuk pakai pakaian yang tergantung di kamar mandi, tapi dengan tidak tahu malunya malah komplain. Wajahmu tebal juga," sindirnya dengan tersenyum lebar, "Kalau kau tidak mau pakai, lepas. Kau pikir kau itu tamu? Kau tawanan." Zeavan menggeleng pelan sebelum melangkahkan kaki meninggalkanku untuk ke luar ruangan. Aku mencibirnya dari belakang. Iya, aku hanya berani dari belakang saja.

Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETED - TERBIT E-BOOK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang