Page nineteen

673 161 9
                                    

°°°

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

°°°

"Ketika kau berada di atas, ketika kau berada di puncak dunia. Semua orang akan mendengarkanmu, semua orang akan menatapmu dengan mendongak, karena kau adalah calon matahari."


"Tuanku, Anda sudah seharusnya beristirahat."

"Tuanku, makanan seperti ini tidak layak untuk Anda makan. Saya takut tubuh Anda tidak menerimanya."

"Tuanku, saya menyarankan Anda untuk memperbanyak membaca dan berlatih. Berkumpul dengan teman dan saudara adalah hal penting, tapi saya yakin mereka juga sangat mendukung kemajuan Anda."

"Tuanku, Anda nantinya akan jadi pemimpin yang baik untuk kami semua."

Deretan kalimat yang sudah cukup ia dengarkan.

Fergio Agriante Vorquinox.

Putra satu-satunya Duke Vorquinox--Akram Agriante Vorquinox. Pria dengan rambut legam yang tidak pernah dibiarkan memanjang, tidak seperti ayah tercintanya, Fergio enggan untuk memanjangkan rambut agar terlihat lebih bangsawan.

Mantel bulu atau jubah penuh hiasan bukan hal kesukaannya, kalau bisa ia juga ingin menghindari acara minum teh dan pesta dansa di istana.

Banyak orang menyebutnya The Rebel Prince, sementara Fergio menganggap dirinya manusiawi. Dia tidak pernah satu kali pun merasa dirinya adalah pangeran, apa lagi pemimpin kerajaan, Fergio yakin itu hanya angan ayahnya belaka dan didukung deretan orang penuh imajinasi lainnya.

"Aku ingin lari," ungkap pria dengan jubah hitam yang menutup hingga wajahnya pelan tapi penuh keyakinan. Si lawan bicara menatapnya dengan kening berkerut dan wajah tidak mengerti.

"Lari saja, bawa pedangmu sekalian. Jangan lupa ayunkan dengan benar, kau selalu saja lari saat latihan pagi," jawab pria berambut perak yang jadi lawan bicaranya tersebut.

"Bukan, astaga, bukan lari yang sebenarnya. Maksudku lari, melarikan diri! Aku ingin melarikan diri dari sini, mengerti maksudku?" tanyanya dengan mengecilkan suara, "Aire?" panggilnya lagi.

"Bukannya kau sudah sering lari dari tanggung jawab? Kau mau lari dari apa lagi? Kenyataan? Kau ini, kapan dewasanya? Kalau saja aku bukan temanmu, bukan, aku bukan temanmu lagi." Aire mendengus pelan, ia mulai beranjak dari padang rumput tempat keduanya duduk tapi tertahan karena gerakan tangan Fergio yang membuat Aire kembali duduk.

"Hei, jangan begitu. Dengarkan aku sampai selesai. Begini, kau ... sudah dengar tentang desas desus akhir-akhir ini?"

"Tentang kau yang akan jadi putra mahkota? Sebenarnya aku tidak mengerti bagaimana sistem mereka memilih penerus, hanya karena kau putra satu-satunya Duke Vorquinox mereka memilihmu dan menjadi buta. Padahal jika membicarakan kemampuan, kau hanya separuhnya dari putra Duke Roschilde - Theodore Isaac Roschilde." Aire menaikkan sebelah alisnya, menatap Fergio sebelum tertawa.

"Aku benar mengatakan ingin lari, tapi tidak juga ingin diejek seperti ini. Kau ini kawanku atau musuhku?" Fergio memukul pelan bahu Aire, matanya teralih dan kini menerawang ke arah bangunan besar tidak jauh dari mereka. Rumah keluarga Vorquinox, tempat ia dibesarkan dan dididik seperti boneka kayu.

"Kalau saja mereka bisa lihat ujung-ujung kawat yang ada di jemariku, terikat benang dan digerakkan sesuka mereka. Pemberontak, bodoh, bisa membuat malu nama keluarga. Sudah kebal aku dengan sebutan semacam itu. Politik, mereka bilang pembunuhan itu kejam. Untukku, politik itu jauh lebih kejam."

Ucapan Fergio pelan, tidak meninggi dan tidak menggema. Namun, Aire mengerti jika semua itu berdasarkan apa yang ia rasakan bertahun lamanya. Semua itu adalah ungkapan isi hatinya yang begitu dalam, rasa sakit dan kecewa tersirat begitu jelas.

"Kau bisa lari, aku punya caranya."

Aire menggumam sepelan mungkin, tidak ingin ada yang mendengarnya selain kawan baiknya ini. Fergio membelalak, menatap Aire penuh tanda tanya.

"Apa? Bagaimana?" tanya Fergio penuh rasa ingin tahu. Matanya membulat dan bersinar memperlihatkan harapan yang begitu besar.

"Putra mahkota Inggris yang hilang, apa kau tahu jika putra mahkota yang sesungguhnya belum mati?" Aire menoleh, menatap mata milik Fergio. Fergio menggeleng, kini tatapannya kembali teralih.

"Tidak tahu ... maksudku, semua orang sudah tahu kalau beliau ... sudah tiada sejak masih kecil. Aku mendengarnya sendiri dari ayah," jelas Fergio. Aire tersenyum kecil sebelum membaringkan tubuhnya di atas tanah.

"Lalu, siapa yang memberitahu paman Akram? Yang Mulia Ratu? Karena itu aku bilang kau tidak tahu. Sekarang aku memberitahumu satu rahasia yang bisa membuatku berada dalam kematian." Pria dengan manik perak tersebut tersenyum, tangannya merentang seperti siap menerima sesuatu.

"Karena kau kawanku, kali ini aku akan menolongmu. Lalu nantinya, kau yang akan menolongku, jadi setelah semua ini berhasil kita lakukan ... jangan lari lagi," ucap Aire dengan senyumnya yang masih merekah. Fergio menatapi pemuda itu, sorot matanya masih memperlihatkan rasa tidak percaya. Bibirnya terlihat bergetar, tapi tidak satu kata pun keluar dari mulutnya.

Fergio mengalihkan tatapannya, lagi. Menatap ke arah rumput hijau yang ada di bawah kaki mereka.

"Aku harap kau hanya membesar-besarkan ketika mengatakan tentang kematian, Aire ... aku tidak ingin kau mati karena menolongku. Aku hanya ingin kau," gumamannya tidak tersambung, beberapa saat setelahnya Fergio merasa menyesal karena sudah bicara sembarangan. Pemuda berusia dua puluh tahun itu tidak pernah berpikir jika temannya ini menyimpan satu rahasia mengerikan, dan rahasia itu sangat bisa membantu agar impiannya terwujud.

Lututnya ia peluk dengan erat, tatapan matanya tidak fokus ditambah pikiran yang berkecamuk. Ia bingung.

"Aku juga berharap begitu. Oh, ayolah, kematian tidak seburuk itu. Kematian bukan akhir dari segalanya, setiap manusia memang selalu berpikiran jika kematian adalah akhir. Namun, aku tidak satu pemikiran, kematian itu bukan akhir. Hanya saja panggung untuk manusia bernama Aire Detroit Florite sudah berakhir, sudah selesai. Bukankah yang terpenting selama hidup tidak ada penyesalan?" Aire membuka mata dan membuat tubuhnya berguling ke arah samping untuk melihat sosok pemuda dengan status lebih tinggi di sebelahnya.

"Hei calon Duke bodoh, setelah aku ingat-ingat lagi, kau belum pernah bertemu dengan Yeina, 'kan?" tanya Aire dengan mengangkat sebelah alisnya. Fergio menoleh dan memasang wajah berpikir.

"Sudah, aku bertemu dengannya saat ulang tahunku yang ke tujuh belas. Kau membawanya untuk menyanyikan satu lagu, itu hadiahmu kau bilang. Gadis cantik dengan rambut terakota itu, 'kan?" tanya Fergio balik. Aire mengangguk sebelum tangannya meraih kaki kiri Fergio untuk dipukul.

"Jangan suka padanya."

"Hei! Sudah gila ya kau ini? Aku hanya bilang dia cantik, dari mana kau berasumsi jika aku suka padanya?"

"Jadi, kau tidak suka padanya?" Mata Aire menyipit, menatap tidak setuju pada Fergio.

"Suka, tentu saja. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyukainya, tapi ... " jelas Fergio tidak tersambung karena Aire menyambar lebih cepat.

"Nah! Barusan kubilang apa? Jangan suka padanya!"

"Ya Tuhan! Aku harus jawab bagaimana agar tidak salah!?"

Aire terkekeh, tawanya meledak karena reaksi yang Fergio berikan. Sementara Fergio hanya berteriak kesal dan menggoyang-goyangkan tubuh Aire menyuruhnya berhenti tertawa.

Aire selalu punya cara untuk membuat temannya kembali merasa santai, untuk membuat Fergio sedikit melupakan masalahnya, membuatnya lupa siapa dirinya dan bagaimana orang lain memperlakukannya.

Kedua pemuda yang bertemu karena takdir, memutuskan untuk berteman dan saling percaya, pada akhirnya akan dipisahkan oleh takdir juga tanpa keduanya sadari.

°°°

Garden Of Mirror [ Noir ] [ COMPLETED - TERBIT E-BOOK ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang