2. Sosok Lunarwiya Selatan

19 2 0
                                    

And love is all that I need
And I found it there in your heart
Isn't too hard to see
We're in heaven

Bryan Adam - Heaven


***


Sinar menghela napas lega saat menyadari Jalan Braga tak sepadat hari-hari biasanya. Bus kota yang ia tumpangi turun lebih jauh dari drop point kampus. Boots yang terbuat dari kulit dengan warna cokelat tua dan hak sekitar dua sentimeter itu menimbulkan suara tapak langkah yang santai. Dress dengan motif bunga-bunga kecil dominan cokelat pastel bergerak kesana-kemari disapa riang gembira oleh angin pagi.

Bukan karena sedang ingin berjalan-jalan, namun ada suatu hal yang baginya mungkin penting untuk diselesaikan di jalan legendaris milik Bandung ini. Kedua irisnya sibuk menelusuri setiap sudut toko di balik kaca tembus pandang ujung toko vinyl. Bukan laki-laki kemarin yang sedang berkutat dengan kasir. Bukan laki-laki itu yang Sinar maksud dan cari. Saat Delian menangkap basah pandangannya, gadis itu mengerjap terkejut bukan main. Lantas dengan tampang dan sikap bodo amat karena diselimuti rasa malu, ia kembali melanjutkan perjalanannya menuju kampus yang telah tertunda.

Sinar terus menuntun langkah kakinya menuju tempat dimana ia menempuh pendidikan yang lebih tinggi. Ia menatap lamat ujung sepatu-kebiasaan buruk saat sesuatu menjalari otaknya. Karena kelas hari ini sampai sore, Sinar berniat untuk kembali kesana saat pulang dari kampus nanti. Semoga saja laki-laki dengan senyum paling manis yang pernah ia temui ada disana. Berkutat dengan laptop sangat tekun seperti kemarin malam.

Kedua tangan Sinar membuka paper bag yang ia angkut sejak tadi. Melihat isinya barang sepuluh detik sebelum menutupnya kembali. Bau parfum Si Manis tercium menguar bahkan di tempat terbuka meski sudah ia cuci. Aromanya sangat segar untuk ukuran laki-laki seumurannya. Aroma ini bahkan seperti aroma bayi yang baru saja dimandikan ibunya.

***


"Lo baik-baik aja kan?" introgasi Sinar pada lawan bicaranya yang sedang asyik membolak-balik buku non fiksi alias buku acuan kuliah-sangat tidak menarik. Satria berdeham sebagai jawaban tak sama sekali peduli bahkan untuk menatap mata bulat Sinar pun enggan.

"Udahlah, Sat. Jangan deketin Si Berandal itu lagi. Bisa-bisa lo dihabisin sama dia. Biar gue aja yang ngomong." Gadis itu tatap lagi kedua mata Satria sembari sesekali mencuri pandang pada bulu mata lentik nan indah milik laki-laki yang digadang banyak mahasiswa lain sebagai seorang nerd.

Tidak. Coba saja kacamata tebal itu dilepas. Coba saja ia menggunakan t-shirt hitam dipadu dengan jaket kulit hitam juga. Sinar berani bertaruh siapapun perempuan yang lewat di depan Satria akan kewalahan melihat parasnya yang terlampau tampan. Jangan lupakan garis rahangnya yang runcing dan memberi kesan tegas. Oh, sial. Membayangkan saja rasanya sudah setengah gila.

"Adanya malah lo yang habis." Lantas kedua mata laki-laki itu menyerah untuk tak acuh. Ia buka mulutnya lebar-lebar sengaja menyantap roti sandwich buah di tangan kanan Sinar. Ia kunyah-kunyah kemudian sebelum kedua netra itu tertutup oleh kelopak mata dan menelan hidangan sarapan milik Sinar. Eye smile paling manis di dunia milik Satria memang berhasil menjadi suap untuk dirinya yang sulit mengontrol emosi kalau soal makanan. "Gue bisa berantem kali. Santai aja." Lanjut Satria setelah dirasa makanan itu tersalurkan ke dalam kerongkongan dan hibernasi dalam perutnya.

"Yaudah kalau gitu berdua aja."

***


"Yang bilang ngajakin dia kencan siapa sih anjing?!" Nyalang Si Berandal kampus yang sekarang menghadap kedua mahasiswa di depannya. Bahkan teman seperberandalannya pun dibuat bingung.

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang