8. Sleepcall

14 1 0
                                    

Maybe we should just try
To tell ourselves a good lie
I didn't mean to make you cry

i love you - Billie Eilish


***


Sinar menghela napasnya panjang. Fisiknya mulai terasa sangat lelah. Tugas-tugas yang tak kunjung berkurang justru gugur satu tumbuh seribu. Jari tangan yang lentik itu bahkan mulai nyeri untuk menulis maupun mengetik. Hanya ada air putih dalam cangkir keramiklah yang menemaninya dibawah temaram lampu belajar di sudut meja hingga jarum panjang menyentuh pukul satu malam.

Punggung tak lebar Sinar menyandar pasrah menyentuh sandaran kursi. Lagi-lagi ia menghirup oksigen serakah dan membuangnya kasar sebelum meraih telepon genggam. Dipandangnya sangat dalam foto profil kontak seseorang yang hampir seminggu tidak membalas pesannya. Memang isinya tidak penting-hanya sekedar menyapa saja. Seharusnya Sinar tak berharap lebih juga.

Pandangan sayu itu beralih pada vinyl-vinyl yang pernah ia dapatkan dari toko Bintang-ada debar kesal di ujung ulu hati yang entah maksudnya apa. Tetapi sesuatu benar-benar mengganjal di benaknya. Toko vinyl itu dijaga oleh pemilik tokonya sendiri di malam hari. Dimana seharusnya sosok yang mengabaikan pesan dari Sinar-lah yang berdiri disana. Melayani pelanggan dengan lembut. Menyibak-nyibak rak vinyl untuk mencari piringan hitam yang pelanggan sulit temukan keberadaannya. Bintang seharusnya disana.

Sekitar tiga hari terakhir ini Sinar merelakan diri untuk naik bus kota saat ke kampus saat kuliah sore agar bisa sekedar melirik pemuda manis dengan kulit tan itu dari balik kaca jendela bus. Naasnya keberadaan sosok yang ia cari tak lagi nampak disana. Mengirim pesan pun tak terbalas. Apakah pantas jika ia merasa diabaikan?

Merasa kesal dan muak dengan dirinya sendiri, Sinar mengacak kasar surai hitam milik gadis itu. Ada sesuatu yang tergores dalam lubuk hatinya. Ia rindu. Ia rindu akan segala hal tentang Bintang. Namun raganya menolak untuk melakukan sesuatu yang bisa mengobati luka itu sendiri. Lantas saat hati berantakannya mulai meringis kesakitan karena tak kunjung diobati, tetes air turun dari netra sayu. Entah apa yang ia sebut sebagai rasa lelah. Mungkin lelah dengan pertengkaran antara logika dan perasaan. Menunggu atau menahan rindu?

Keduanya menghabiskan sepuluh menit lebih tanpa suara sebelum Satria mulai paham keadaan gadis yang ia puja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Keduanya menghabiskan sepuluh menit lebih tanpa suara sebelum Satria mulai paham keadaan gadis yang ia puja. Selain suara ketikan keyboard laptop ia mendengar isak tangis kecil yang sepertinya diredam oleh kedua telapak tangan.

"Mau cerita nggak? Biar nggak ada yang gangguin pikiran kamu. Biar revisinya lebih fokus juga."

"Kamu denger ya?... aku sendiri nggak tahu aku kenapa, Sat."

"Kamu bingung sama diri kamu sendiri? Ada apa?"

"... aku capek."

"Nggak apa. Nangis aja, nggak perlu ditahan. Tapi janji sama aku kalau kamu nggak bakal kehilangan dirimu sendiri."

"Aku baru sadar dari tadi kita make aku kamu, bukan lo gue."

"Ahahahah... matiin gih laptopnya. Tidur."

"Iya, udah. Makasih Sat udah nemenin meski aku nggak jelas gini."

"Santai. Aku juga belum ngantuk... mau ke gereja nggak besok?"

"Boleh. Gereja mana?"

"Gereja di Braga. Aku sama mama papa selalu kesana. Udah deket juga sama pendetanya. Kali aja kamu mau minta doa sesuatu biar lebih baikan."

Waktu itu, Bintang sempat mengajaknya juga berdoa di gereja tepatnya di Jalan Braga. Sore di akhir september membawa langkah keduanya menuju gereja dengan dominan cat cokelat muda. Terlihat bersih dan suci. Kala itu Delian menyarankan agar keduanya pergi karena memang jam shift Bintang masih kurang dua jam. Lalu saat gadis itu mengiyakan, mereka telah berada di bangunan kokoh ini.

Salah satu kakek yang Sinar duga sebagai pendeta itu menundukkan kepala sebagai tanda hormat. Begitu juga cucu pertamanya yang terlihat begitu akrab dengan Bintang. Mereka berdua berjabat tangan sebelum berpelukan.

"Namanya Agas. Ganteng ya? Taat juga." Bisik Bintang hingga Sinar paham dan mengangguk-angguk sebagai jawaban.

"Siapa ini, Bin?" Senyum pendeta itu terlihat sangat indah sekaligus hangat pada setiap jantung yang mereaksikannya. Ada ribuan pohon peneduh ditengah gundah yang mampu menenangkan setiap jiwa yang resah.

"Mmm, teman... saya ingin berdoa bersama saja seperti biasanya."

"Oh tentu. Silahkan duduk. Yang khidmat ya..."

Lantas keduanya mulai berdoa. Menyuarakan suara-suara hati yang berteriak meminta pertolongan untuk tak lagi dibungkam. Semua teriakan itu dapat dengan mudah diredam hanya dengan sebuah untaian doa. Mampu menenangkan siapapun pendengar dan penyerunya.

Sinar sungguh terkesan atas apa yang terjadi kala itu. Mana ada seseorang laki-laki yang mengajak jalan-jalan ke gereja? Zaman sekarang laki-laki seperti itu sudah sangat punah atau bahkan hampir tidak ada. Ia berani bertaruh. Dan mungkin Bintang-lah satu-satu kuasa pemuda yang memegang tahta pembeda dari segala sisi.

"Mau." Jawabnya sendu setelah lama terlarut dari pikiran dan kenangan yang nyaman berputar di kepala dan tersimpan manis dalam benaknya. Oh Tuhan, ia lupa jika ada Satria disana.

"Okay. Besok pagi aku jemput."

Jauh disana, Satria mengerti dan akan selalu mengerti sampai kapan pun itu. Entah sebab Sinar yang kurang ahli dalam menyembunyikan keresahannya atau justru ia yang terlalu peka dan khawatir barang segores saja pada gadis itu. Satria bahkan takjub pada dirinya sendiri. Ia menyeru begitu bangga saat nada sambung mulai menghilang.

Satria hebat. Pemuda itu bahkan menjadikan Sinar sebagai cinta pertamanya. Cinta pertama yang bertepuk sebelah tangan bukanlah kisah yang layak untuk diukir dalam hidupnya. Sejenak kelopak mata itu mengatup beberapa kali-kemudian menutup begitu lama. Dada Satria membusung ambisius mengantongi oksigen dengan rakus. Helaan napas yang keluar berhasil membawa beberapa resahnya pergi.

Setidaknya ia berperan baik dalam hidup pujaan. Ia selalu hadir disaat suka dan duka gadis itu. Memberinya kebahagiaan yang ia rasa mampu untuk membuat hidup Sinar lebih ceria lagi. Selama dambaan hatinya tersenyum bahagia, saat itu pula luka dalam hatinya mengering. Menahan sakit sekaligus bahagia disaat yang sama.

to be continue


"Tabah dan lapangnya hati Satria itu ia dapat dari mama. Kalau ayah ia dapat ototnya. Kalau Satria sendiri, namanya sempurna."

Satria Atmaraja

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang