11. Benderang Bintang

14 3 0
                                    

So please, hurry, leave me
I can't breathe, please don't say you love me

First Love / Late Spring - Mitski


***


Teh melati hitam yang mengepulkan uap panasnya menemani ketiga individu yang akan memulai percakapan mereka. Merasa selesai atas basa-basinya, bunda pun membuka percakapan yang lebih serius. Karena sejatinya bunda mengerti maksud Sinar datang kesini untuk apa.

"Bintang bukan sibuk skripsi, Nak. Dia sakit. Parah sekali..." Beliau menjeda kalimatnya-sebab luka yang ada dalam dadanya belum benar-benar mengering. "Bintang sendiri tidak menyangka ia menderita kanker seganas itu. Kami sendiri baru tahu tepat di hari kematiannya."

Sinar mencengkeram erat rok dengan dominan warna abu-abu yang ia pakai. Ia tak bisa mengelak kenyataan sebab tuturan informasi yang sekarang ditangkap pleh gendang telinganya adalah dari bunda Bintang sendiri. Dan kenyataan bahwa pemuda yang ia cari dan rindukan itu sekarang tak dapat lagi ia raih karena terbang terlalu tinggi cukup membuat raganya melemah. Sinar marah. Tapi tak mengerti harus kepada siapa. Tidak dengan semua orang sebab inilah kisah yang tuhan tulis untuknya. Kisah terbaik untuk mereka semua.

"Bunda minta maaf ya sayang? Apa Bintang membuat hati Sinar sakit?"

"Bukan, Bun. Sinar hanya... rindu saja."

"Manusia memang tidak bisa mengelak yang namanya kehilangan dan perpisahan. Bagaimanapun kisahnya, kita hanya harus kuat untuk diri kita sendiri. Bukan begitu?"

Dobrakan air mata yang sedari tadi ia tutup rapat-rapat dalam kelopak mata sayu itu tumpah ruah setelah bunda menyelesaikan kalimat. Bunda benar. Tuhan memanggil Bintang bukan tanpa alasan. Semata-mata hanya karena tuhan lebih sayang Bintang ketimbang makhluk-makhluk lainnya di dunia. Tuhan juga rindu dengan Bintang, sebab itulah Ia ingin bertemu dengannya.

"Kami minta maaf ya, Nak. Siapa tahu Bintang pernah berbuat hal-hal buruk atau perkataannya yang tidak baik." Ayah beralih menambahkan secerca kalimat sembari mengusap-usap punggung bunda. Pria itu menatap air muka Sinar yang sangat berantakan. Sama sepertinya-Bintang berharga bagi mereka.

Setelah kedua perempuan disana merasa tenang, Ayah meninggalkan mereka ke dapur. Katanya beliau ingin menyuguhkan cheesecake kesukaan putranya yang sangat enak. "Sinar mau ke kamar Bintang? Mari bunda antar. Siapa tahu ada sesuatu yang mungkin dia sembunyikan dari kamu? Karena seminggu setelah pemakaman, bunda nemuin kalung untuk hadiah ulang tahun bunda tahun depan. Sepertinya Bintang sudah merasa dekat dengan tuhan." Tangan bunda terulur untuk menuntut balasan yang sama pula dari lawan bicaranya. Setelah mengangguk mantap dan menghapus air matanya, gadis itu mengekor ke lantai atas mengikuti bunda.

Dapat gadis itu lihat vinyl player portable dan jejeran lengkap album dari Cigarettes After Sex di rak tinggi penyangga vinyl player itu sendiri. Bunda mengusap pundak Sinar untuk menghabiskan waktunya sendiri. Nuansa kamarnya sangat condong ke klasik modern. Barang-barang yang terpampang disana didominasi warna cokelat gelap, cokelat terang, dan hitam. Tak banyak yang dapat menarik perhatiannya hingga netra itu berhenti pada sebuah tumpukan buku di atas meja belajar.

Bukunya Bintang.

Kalau kayak gini, lama kelamaan kebaikan Pak Damar ngalahin ayah sih. Masa aku dikasih vinylnya Cigarettes After Sex gratis? Harganya bahkan gak sepadan sama gaji. Pak Damar emang top!

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang