10. Janji Satria

21 2 2
                                    

Lost in a blue
They don't love me like you do
Those chills that i knew
They were nothing without you

Like You Do - Joji


***


Saat coretan awan yang berwarna putih suci menghias cakrawala dengan elok, saat itu juga seorang pemuda dengan pakaian casualnya menarik gas sepeda motor membelah sejuk udara kala hatinya merasa tenang. Daun-daun masih terlihat hijau, begitu pula langit dengan semburat biru kalemnya merajuk untuk terus dinikmati. Dapat ia dengar gusak-gusuk dedauan yang berayun disapa angin. Terdengar seperti sambutan suka duka di hari minggunya.

Beberapa hari yang lalu Satria sempat mengucap janji pada sosok yang ada di hatinya-sosok yang ia segani dalam waktu yang tak bisa dibilang singkat. Kala kedua netranya menangkap obsidian rupawan tengah memasang sepatu kets di bangku kayu sudut rumah sederhana, sudut bibir pemuda itu menyungging perlahan. Bahkan ia melupakan tujuan dimana ia bersedia mengantar Sinar untuk menemui pujaan hati gadis itu. Seharusnya ia merasa sakit bukan?

Jemari lentik namun masih perkasa itu mencabut kunci agar sepeda berhenti beroperasi. Ia tundukkan kepala sedikit untuk menyambut sosok laki-laki paruh baya di sebelah Sinar. Lantas untuk kesekian kalinya ia kehilangan netra demi menunjukkan deretan gigi rapi. Eye smile favorit semua orang yang menatapnya. Terlalu manis untuk sekedar diabaikan. Setelah keduanya berpamitan dan mendapat restu untuk bepergian. Sinar dan Satria memulai percakapan mereka di atas motor.

"Sudah sarapan kan?" Tanya Satria setengah berteriak. Sebab angin jalan memangkas habis suaranya. Hal sama terjadi pada helm fullface miliknya yang memang menyabotase gelombang bunyi sehingga sulit dijangkau lawan bicara.

"Sudah." Pun Sinar menjawabnya setengah berteriak. Kemudian kedua tangan gadis itu kembali memeluk perut ramping dan menyandarkan tubuh ringkihnya pada punggung lebar milik Satria. Meski tanpa gadis itu ketahui juga bagaimana tempo debaran hati seseorang yang ia peluk begitu cepat tak terkontrol. Siapapun tolong beri Satria piala oscar sekarang.

Seketika sepeda motor gagah itu berhenti tepat di depan sebuah toko dengan nuansa vintage, Sinar turun dari bangku penumpang. Helm gadis itu dengan lembut dilepas oleh Satria. Lagi-lagi ia tersenyum manis sebelum membuka suara sebagai obat penenang Sinar.

"Masuk gih. Aku tunggu disini ya?" Satria mengusap lembut puncak kepala gadis itu sebelum membiarkannya melangkah masuk ke dalam toko. Sinar mengangguk sebagai jawaban.

Jujur saja, bahkan demi tuhan ia tak pernah yakin dengan langkah yang ia ambil. Atas dasar apa ia ingin mengetahui lebih jauh tentang Bintang. Tak ada alasan spesifik sebab mereka berdua hanyalah orang asing yang saling kenal karena sebuah hoodie dan hujan. Tapi suara dalam hati Sinar berteriak lebih kencang ingin di dengar. Ia harus bergerak sebab sesuatu yang tak ia ketahui apa selalu menggangu pikirannnya.

Lantas dengan berani ia menginjakkan kembali tapaknya menuju toko dengan ratusan kisah itu. Tak ada sosok yang ia cari. Bahkan bayang sosok itu tak berbekas disana. Ada gurat kecewa di ujung kepasrahan yang ia tahan berminggu-minggu lamanya. Namun saat seorang pria menyapa dengan suaranya yang lembut, Sinar mengizinkan egonya turun.

"Sedang mencari vinyl siapa, Nak?" Pria itu menuntaskan kalimatnya sembari mengembalikan kacamata yang sedikit melorot ke ujung hidung.

"Mmm... jika aku boleh tahu. Dimana Bintang? Pegawai laki-laki yang memegang shift sore. Apakah..."

"Ah, Nak Bintang? Bintang sudah tidak bekerja disini. Sudah berapa minggu ya... saya lupa." Pria itu tertawa renyah sebelum melanjutkan percakapan keduanya. "Apa adik ini namanya Sinar?"

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang