6. Peluk Rasa Satria

13 1 0
                                    

I've been loved before, but right now in this moment
I feel more and more like I was made for you

Halley's Comet - Billie Eilish


***


Satria tak pernah bersekutu dengan rasa percaya diri sebelum satu ruang yang ia sebut hati itu dikutuk oleh rasa cinta. Pernah beberapa kali ia dapati jantungnya berdetak tak seperti tempo biasa. Mereka membuat dentuman kian cepat yang beradu dengan pikiran porak poranda tentang sebuah canggung atau mungkin tersipu malu.

Bukan maksud ia tanpa permisi menyayangi seorang hamba yang polos. Bukan tentang dimana perasaan itu mengapung di permukan saat mulutnya mengunyah sandwich milik dambaan hati. Juga bukan tentang bagaimana gadis yang ia sayangi berkemauan untuk berjalan bersamanya melewati masalah dengan Lunar kemarin. Bukan. Barang kali kisahnya disambut patah dan sirna, sosok jangkung milik Satria siap menahan badai yang menyambut.

Pasalnya dua bulan berlalu ia menangkap sosok itu dengan bahagia menyendok es krim cokelat. Barisan gigi putih tampil sempurna merangkai senyum manis tak tertandingi dari merek gula manapun. Saat hatinya merasa tenang bahkan senang-ia menangkap sosok lain yang ia duga sebagai pacar Sinar. Laki-laki itu mungkin seumuran dengan mereka. Duga Satria, ia mungkin penjaga toko atau justru pemilik toko vinyl di jalan legendaris milik Bandung seorang.

Sempat Satria selipkan ribuan doa agar Tuhan senantiasa memberinya ruang dan waktu untuk dapat meraih gadis itu meski sesulit apapun rintangannya. Namun, saat kedua netra redup itu meraih air muka Sang Gadis ia berani menyimpulkan hal yang ia definisikan sebagai luka. Sesuai dengan nama gadis itu sendiri, Satria lihat iris mata yang memancarkan Sinar pada lawan bicara. Mengartikan sebuah rasa senang akan suatu yang Satria sebut patah hati.

Sinar adalah satu dari sekian juta insan ciptaan Tuhan yang ia putuskan sebagai pemilik hatinya. Sebab pada gadis itu lah ia jatuh sejatuh-jatuhnya. Satria berani menyimpulkan sedemikian rupa berdasarkan hipotesis penglihatannya sendiri karena ia tak pernah melihat gadis itu tersenyum begitu tulus. Senyum itu berbeda dari biasanya-senyum itu penuh dengan coret bahagia.

Kala nyawa tegar itu terjaga di sebelas malam, tangannya sibuk mengaduk mie kuah dengan aroma kaldu yang menyeruak seantero dapur. Lengan crewneck dengan motif polos warna cokelat muda tergulung rapi di kedua lengan dengan hiasan urat miliknya. Sesekali laki-laki itu usap kasar kedua matanya yang mudah berair.

"Haduh... Jangan kena uap panas dulu matanya, Nak." Suara wanita berkepala empat memecah keheningan malam yang Satria nikmati. Tangan kanan mama mengibas-ngibas uap dari atas panci mie yang Satria masak. Kemudian mama memutuskan untuk mengganti posisi chef dadakan untuk Satria. Membiarkan putra lugunya duduk dan menampung dagunya dengan tangan di atas meja makan.

Satria memang baru saja menjalani operasi lasik untuk kedua matanya yang minus akut. Lensa kacamata yang selalu ikhlas menempel pada tulang hidung mancung dan daun telinganya terlalu lelah untuk menemani pemuda itu. Pikir Satria pula siapa tahu Sinar bisa sedikit meliriknya barangkali sedetik saja.

Lantas ia amati punggung mama yang ikut bergerak kecil saat mengaduk mie. "Menurut mama Sinar itu baik nggak?"

"Baik. Kenapa? Satria suka?" Mama masih menyibukkan dirinya untuk mengaduk mie sembari mengangkat panci panas itu ke meja makan. Satria berdeham menjawab pertanyaan mama. Perutnya lebih bersedia untuk menjawab rasa lapar daripada pertanyaan mama sendiri.

"Kalau suka ya bilang dong!"

"Nggak ah."

"Mama bilangin ya..." Mama mengulurkan tangannya untuk meraih selembar tisu dan memberikannya pada Satria kemudian. "Kamu nggak perlu merubah dirimu sendiri untuk orang lain demi disayangi." Satria meletakkan tisu kotornya sebelum merenung sejenak menatap mie sebagai camilan malam. "Soal disayangi balik itu urusan belakang."

"Iya, Ma. Satria udah capek pakai kacamata kemana-mana. Satria juga cuma mau lebih keren aja." Kalimat itu kemudian ia tutup dengan kedipan mata untuk mama.

Benak seorang ibu memang seharusnya berfungsi dengan baik kala putra kesayangannya itu dirasa mengalami cinta bertepuk sebelah tangan bahkan sebelum mengudarakan perasaannya. Dan sudah sejatinya juga seorang ibu menjadi penguat bagi putra-putrinya.

***

"Ini ya tehnya bapak-bapak..." Bunda menurunkan nampan keramik kuno dominan warna putih dengan motif bunga yang entah apa. Gelasnya pun bermotif demikian-senada dengan nampannya. Bunda sodorkan dihadapan kedua lelaki yang sangat ia sayangi.

Sudah selayaknya malam Bandung menyelimuti bincang kedua insan antara seorang ayah dan anak. Semilir sejuknya selalu bersedia menjadi saksi percakapan ringan maupun berat yang diraih oleh jalannya waktu. Makaroni pedas rumahan yang Bintang buat sendiri juga telah dipeluk lama di kedua lengan ayah sedari tadi. Pria jangkung itu mencomot sedikit demi sedikit camilan buatan putranya sembari mendengarkan putranya sendiri berucap panjang lebar soal perkuliahannya.

Lantas saat tangan kanan Bintang berniat untuk menangkup makaroni pedas dalam pangkuan ayahanda, Sang Jendral itu menepis kuat sampai nyeri berhasil membuat tangannya secara otomatis mengurungkan niat.

"Jangan, Bang! Nggak kasian sama lambungmu itu? Katanya kemarin sakit. Udah ini buat ayah aja."

"Itu karena ayah mau habisin semua! Orang perut aku juga udah nggak sakit kok..." Bibir mungil bintang mengerucut marah menggerutu seperti bebek. Sedangkan lawan bicaranya berlagak seperti tembok-enggan menjawab. "Yah, ayah dulu ketemu mama gimana sih? Kok bisa kenal?" Tiba-tiba saja atensi pemuda itu beralih dengan cepat pada seorang jendral yang menyesap sedikit teh hitam melati buatan bunda.

"Dari bimbingan belajar."

"AYAH PERNAH IKUT BIMBINGAN?" Disambutlah kalimat itu dengan sebuah tawa keras, melengking, serta memekakkan telinga oleh Bintang. Setahunya ayah bukan orang yang terlalu menomor satukan pendidikan. Bukan berarti tidak pandai. Sekolah hanya untuk memenuhi hak belajar sebagai warga negara.

"Ya kalau nggak kamu nggak akan ada."

"Ya juga... Terus kenalannya gimana?"

"Ayah sama bunda itu beda SMA. Ayah ngajarin bunda matematika waktu itu, terus ya sudah ayah ajak jalan-jalan setelah kenal lumayan lama."

"Lumayan lamanya itu...?"

"Dua bulan mungkin... Kenapa sih? Kamu naksir cewek ya?!"

Gigi rata nan putih milik Bintang pun tertampil sempurna di hadapan jendral. Senyum itu sungguh menyebalkan bagi ayah. Dan benar saja, setelah senyumnya sirna Bintang melesat ditelan pintu kayu rumah. Meninggalkan ayah dan cangkir teh melati mereka yang sudah raib karena masing-masing pemilik.

to be continue

"Untuk kasihnya, Satria akan selalu bisa dan berusaha menyembunyikan luka basah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Untuk kasihnya, Satria akan selalu bisa dan berusaha menyembunyikan luka basah. Agar ia dapat menikmati waktu dalam hidupnya meski hanya memandang, bukan memiliki."

Satria Atmaraja

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang