3. Cita-cita Bintang

16 1 0
                                    

Kepulan asap teh melati melayang-layang di udara. Aroma wanginya begitu sopan menusuk hidung. Teh buatan bunda memang tidak pernah gagal membuat ayah merasa segar bahkan meski Sang Fajar sudah tertidur pulas. Pria paruh baya itu membolak-balik kertas koran-mengganti-ganti halamannya dengan kesit. Menelisik headline berita yang mungkin saja menarik perhatian. Tubuhnya terduduk istirahat dengan tenang di atas kursi kayu jati teras rumah yang nampak asri.

Malam itu rintik tangis awan sedang segan untuk mampir di penghujung malam kota Bandung. Tak banyak pula kendaraan yang berlalu lalang di komplek perumahan Bintang. Lantas ketika deru bising khas motor CB100 milik Honda menerobos gendang telinga ayah, pria itu terkesiap dan menatap asal suara.

"Selamat malam, Jendral! Lapor, saya lelah sekali jadi tidak bisa nongkrong di teras!" Ayah menoleh ke arah kanan atas mengernyit heran putra semata wayangnya yang terlampau semangat untuk pukul sembilan malam. Keduanya memang selalu menyesap teh melati buatan bunda di teras rumah-hampir setiap hari. Mengobrol apa saja yang terlewat di kedua otak individu itu.

"Semangat banget kamu. Habis ketemu cewek cantik di toko?" Setelah mendapat jawaban, Bintang menurunkan tangannya yang masih menempel pada pelipis membumbung tanda hormat. Toko vinyl sedang ramai pengunjung di jam tujuh malam tadi. Membuat Bintang kuwalahan mengurus kasir sekaligus mencarikan vinyl-vinyl yang pelanggan kurang tahu dimana letaknya.

"Bintang mau makan terus tidur, Yah. Nggak nongkrong sehari aja sama Bintang bikin ayah sedih ya? Utututu..." Remaja usil itu memeluk manja badan ayahnya yang tak begitu kekar untuk ukuran seorang Jendral TNI. Pipi gembul Bintang ditempelkan pada pipi ayah. Sedangkan pria yang dipeluk menjepit kedua lubang hidungnya dengan telunjuk dan ibu jari.

"Bungha! Bintangh surugh mandi ini Bun! Bau banghkai!" Pria itu berteriak ke arah dalam rumah mereka sendiri agar suaranya sampai pada kedua telinga Sang Istri.

"Jahat banget sama anak sendiri. Bintang nggak akan bikinin makaroni pedes lagi buat ayah." Dengan bibirnya yang semakin mengerucut kecewa, Bintang melepas peluk manja itu dan berangsur meninggalkan teras rumah yang memberinya sambutan buruk malam ini.

"Lah... Jangan gitu lah, Bang." Ayah menertawakan dirinya sendiri setelah gagal membujuk putranya untuk menarik kembali ancaman yang baru saja diberikan untuknya. Makaroni pedas buatan Bintang tidak punya lawan sama sekali. Entah apa bumbu tambahan yang ada yang tercampur disana selain bumbu instan balado seharga lima ribu rupiah yang ia beli di toko bahan kue depan perumahan. Bintang sendiri juga pernah mengatakan ia bahkan tidak pernah menggunakan micin karena ia tahu itu bukan hal baik mengenai kesehatan keluarganya.

"Nda! Ayo tanya Bintang cita-citanya apa?!" Teriakan setengah melengking itu mengusik suara percikan minyak tempe bumbu bawang putih yang bunda masukkan ke dalam wajan panas.

"Apa sih? Kamu ini aneh-aneh. Mandi dulu sana." Wanita itu lantas membalik tempe setelah menjawab pertanyaan putranya.

"Buruan, Nda!" Bintang mengikis jarak dengan Bunda setelah meletakkan tas ranselnya ke kursi dekat meja makan. Ia menyenggol pundak bunda juga dengan pundaknya sendiri.

"Bintang mau jadi apa besok...?" Ucap wanita itu dengan nada paling imut dan terkesan di lebih-lebihkan agar lawan bicaranya merasakan kepuasan.

"BINTANG MAU JADI SUAMINYA SINAR!"

"APA ITU SUAMI SUAMI, BUN?!" Ayah lantas berteriak sedemikian rupa nyaris sama seperti putranya. Demi Tuhan, dua pria ini benar-benar mampu merusak gendang telinga bunda. Wanita dengan daster batik berwarna cokelat khas itu mengurut pelipisnya perlahan. Kedua pria yang ada di rumah ini tidak pernah tahu waktu kalau sedang mengobrol. Mana ngobrolnya sambil teriak-teriak.

Laki-laki yang dengan rasa tanpa bersalahnya meninggalkan bunda sibuk menggoreng tempe dan merasakan pening karena kelakuannya pergi melesat ke kamar mandi untuk membasuh tubuh ringkih yang terasa amat lelah. Bunda hanya menggeleng-gelengkan kepala seraya menyiapkan piring dan nasi untuk Bintang yang baru saja pulang bekerja.

***

"Ayah belum pulang, Bun?" Sinar membuka obrolan di tengah kesunyian dapur. Mulut gadis itu penuh dengan nasi yang beberapa bijinya sempat berniat untuk keluar dari sana. Terhitung lahap sekali padahal hanya makan nasi dan sosis goreng saja. Kegiatan menemui Lunar membuat tubuhnya seakan kehabisan energi. Sebab biasanya gadis itu tak pernah pulang terlambat.

Satria sudah berniat untuk mengantar Sinar pulang, tetapi ia menolak mentah-mentah dan mengatakan ia lebih suka naik bus kota.

"Belum. Katanya ada rapat. Kenapa?" Tanya bunda kemudian setelah menyuap sosis goreng yang beliau masak untuk putri dan dirinya sendiri ke dalam mulut.

"Dua hari lagi ayah ulang tahun kan?"

"Iya. Rencananya bunda mau beli-"

"Aku ada ide! Aku aja yang beli kadonya." Sinar berujar kelewat antusias. Membuat bunda menertawakan sebutir nasi yang mendarat ke dagu putri semata wayang yang selalu lahap kalau soal makanan. "Kita beli vinylnya Bryan Adam ya, Bun! Sinar tahu tokonya dimana. Patungan aja kita. Oke? Oke."

Setelah bunda membersihkan nasi di dagu Sinar, ia mengangguk tegas. Memperbolehkan anak itu mengambil rencana kejutan ulang tahun ayah yang hanya dirayakan setiap satu tahun sekali. Biasanya Sinar akan sangat sibuk mengerjakan berbagai tugas kuliah. Hampir tidak waktu untuk mengurus bahkan peduli pada hal lain selain akademiknya. Namun, entah mengapa gadis belia itu sangat antusias kali ini.

"Pucet banget kamu? Kecapekan ya?" Tanya mama menelisik. Mengamati detail wajah Sang Putri di hadapannya yang mengunyah potongan sosis terakhir.

"Eh, Emang iya? Nggak tuh." Sinar menjawab kelewat santai sebelum kemudian mengedikkan bahunya.

"Ya sudah. Mandi sana kalau sudah habis. Kamu pulang-pulang langsung makan, bukannya bebersih dulu."

"Iya, Cantik." Sinar merayu mama setelah mencuci piringnya sendiri. Pasalnya gadis itu memang benar-benar dilanda rasa lapar setelah hampir seharian tidak berkunjung ke kantin kampus. Isi otaknya hanya bagaimana cara membuat percakapan baru dengan Bintang.

Beruntungnya semesta sedang dengan senang hati berpihak padanya. Rencana membeli hadiah vinyl untuk kado ulang tahun bisa menjadi alasan utama untuknya kembali berkunjung ke toko vinyl Bintang. Lengkungan belah merah muda merona itu lantas terpatri cantik sembari pusat otaknya membuat skenario romantis. Indahnya berhalusinasi.

Lamunan itu lantas buyar saat tiba-tiba bajingan esai milik Lunar muncul mengganggu adegan yang sedari tadi berputar di kepala. Sinar mendengus kasar menuju kamarnya untuk memulai kegiatan joki tugas dadakan demi melindungi karibnya; Satria Atmaraja. Dan tentu saja uang, apalagi?

to be continue

motor CB100 Honda milik Bintang

Late Spring | Haechan ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang