06. SILAU

61 17 37
                                    

Tongkat tersebut tertancap di punggungku. Dan anehnya, punggungku ditumbuhi dengan bulu halus seperti bulu burung yang begitu halus dan lembut.

Semakin lama bulu tersebut semakin tumbuh memanjang dan melebat. Tak lama kemudian
bulu tersebut membentang lebar seperti sayap. Sayap tersebut telah menguasai diriku, kini aku terbawa terbang menjauhi papah dan mamah yang terbaring lemah di tengah kobaran api.

Aku menangis kencang yang di sertai dengan teriakan akibat melihat mamah dengan papah disiksa dan terbakar.

Ketika diriku telah terbang menjulang tinggi, ku berteriak dan membuatku terjatuh tanpa mendarat.

***

"Mamah, papah." ku berteriak dalam kondisi tertidur alias bermimpi.

Aku langsung membuka mata dan terbangun untuk duduk. Telapak tangan terangkat menutupi wajah. Air mata telah mengalir deras di balik telapak tangan.

Nenek berlari memasuki kamar miliku dan menaruh panci di meja dekat pintu kamar.

Kepanikan terpancar dari wajah nenek, ia mengelus rambutku dengan halus hingga duduk disampingku yang kemudian memeluk erat tubuhku.

"Kamu pasti mimpi buruk yah?" tanya nenek sembari mencium keningku dengan begitu hangat.

Baru kali ini aku bisa merasakan kasih sayang yang begitu tulus meski mereka bukan orang yang aku harapkan untuk bisa memberikan kasih sayang selayak menjadi orang tua.

Aku membalas pelukan hangat dari nenek hingga membuat kita berpelukan dengan begitu erat.

"Kalau boleh tau, memang Brian mimpi apa?" tanya nenek sambil melepaskan pelukannya.Ku mulai menjelaskan tentang apa yang ku impikan barusan. "Nek, tadi Brian bermimpi kalau mama dengan papah tengah berdiri di antara kobaran api yang sangat besar, lalu di samping mereka ada seseorang yang amatlah tinggi dengan jubah hitamnya."

"Tadinya, Brian mau menolong mama dan papa, tetapi sayap besar membawa Brian terbang menjulang tinggi," lanjutku.

Nenek kembali memeluk tubuhku dan mendekatkan wajahnya ke samping telingaku. "Insyaallah, kelak syurga adalah tempat tinggalmu cuk," bisiknya.

Tetiba kakek datang menghampiri kita. "Amin ..." cetusnya.

Sontak aku yang mendengarkan ucapan mereka langsung merasa terkejut. "Lah kok nenek sama kakek palah doain Brian supaya cepat mati sih."

Nenek dan kakek langsung tertawa terbahak-bahak akibat mendengar ucapanku yang begitu polosnya. Kakek datang menghampiriku dan mengelus lembut rambutku. "Bukan gitu konsepnya, Bri."

"Maksud nenek tuh gini, kamu dapat dinyatakan sebagai anak yang sholeh nan menjadi malaikat kedua orang tuamu, gitu loh ah." Nenek terkekeh kecil.

Akupun beranjak dari tempat tidurku. Ketika ku melangkahkan kaki, nenek bertanya kepadaku "Mau kemana?"

"Ke sawah sebentar, mau cari angin semilir. Capek tau berjanda sama kakek dan nenek!" decakku yang terhenti langkahnya sambil menoleh ke belakang memandang mereka dengan memutarkan bola mata malas. Ups, bercanda mksdku awkwk...

Kakek pun berdiri dan menepuk bahuku. "Yom, bareng sama kakek, tapi nanti kamu di tepi saja, nggak usah turun," pinta kakek.

Aku berdecak kesal "Dih, siapa juga yang mau turun, lagi pula Brian cuma mau menghalu."

Nenek dengan kakek bertatapan sambil tersenyum tipis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.

***

BRIAN RENANDO [ON GOING] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang