10 - Keputusan

99 20 8
                                    

Alexia menaruh gelas kaca miliknya ke atas meja di sampingnya. "Kalau Paman ingin berbicara dengan kak Reviano, silahkan. Aku akan pergi."

"Eh? Bukan--"

"Permisi Paman Lucas," sela Alexia kemudian menjauhi dua laki-laki itu.

Reviano melirik punggung Alexia, ia menyadari adiknya keluar dari aula pesta. Sebenarnya ia merasa sedikit penasaran perihal tanggapan Alexia atas sikapnya di hutan tadi siang. Tapi ekspresi tenang yang memang biasa ditunjukkan Alexia membuatnya tak bisa menebak isi hatinya. Namun, ia akan segera mengetahuinya sekarang dengan cara bertanya langsung. Tidak memedulikan keberadaan Lucas, dia menyusul Alexia setelah meletakkan gelasnya ke atas meja.

Aku diabaikan nih? batin Lucas masih terdiam di tempat setelah Alexia dan Reviano sudah tidak memasuki indra penglihatannya.

≪•◦ ❈ ◦•≫

Sekarang Alexia berada di taman sepi yang berlokasi dekat aula pesta. Dia duduk di bangku taman, mengangkat kepala untuk melihat bintang-bintang dengan sorotan tenang. Suara langkah kaki yang terdengar mendekat secara tiba-tiba membuatnya menoleh, dia mendapati Reviano mendekatinya.

"Apa kau marah denganku?" tanya Reviano tanpa basa-basi.

Alexia mengerutkan dahi, tak paham atas pertanyaan kakaknya. "Apa?"

Reviano lalu berhenti di depan Alexia yang masih duduk. "Apa kau marah karena aku tidak menolongmu dari para serigala itu? Yah ... Sebenarnya aku tidak khawatir karena kau pasti bisa menghadapi mereka sen--"

"Apa kau sekarang ingin membela diri dengan bilang, karena aku pasti bisa menyelamatkan diriku sendiri, jadi kau memilih mencari kudamu saja? Sepertinya ... kudamu lebih berharga daripada nyawa adik kandungmu," sela Alexia datar. "Kenapa tidak jujur saja? Bukankah kau hanya ingin aku mati?"

Reviano terdiam sesaat, melirik arah lain sampai kembali menatap Alexia lagi setelah berhasil menyusun kata-kata. "Itu memang alasan utamaku. Cobalah pikirkan ... jika adikku yang berpotensi menjadi malaikat mautku di masa depan akan mati, untuk apa aku mencegahnya?"

"Ya, benar. Untuk apa kau mencegah hal itu?" Alexia tersenyum kecut lalu menundukkan kepalanya. "Sekarang tolong jawab pertanyaanku ini. Saat perebutan takhta pada generasi kita terjadi di masa depan, apa kau akan membunuhku seperti para leluhur kita yang tidak pernah membiarkan saudara-saudaranya hidup?"

"Iya," jawab Reviano cepat membuat tubuh Alexia terkesiap. "Karena entah apa keputusanmu di masa depan. Kau menuruti perintah ibu untuk membantuku, atau bahkan kau memutuskan melawanku, semua itu pilihanmu. Tapi akhirnya tetap sama, kau dan aku akan saling membunuh. Aku telah memutuskan ini sejak lama karena aku tidak dapat membiarkan pikiran naif seorang kakak didiriku malah membuatku jatuh ke jurang kematian dengan mempertahankan dirimu, malaikat mautku di sisiku."

Hening beberapa saat sampai Alexia tiba-tiba memeluk Reviano membuat pangeran itu terkejut. Tetapi Reviano hanya diam, tidak mendorong tubuh Alexia menjauh atau pun membalas pelukannya. Pelukan itu berlangsung sebentar saja, bahkan tidak sampai 10 detik, Alexia melepas pelukannya.

"Apa Kakak ingat? Dua bulan lalu, kita pernah bilang akan saling melindungi dan menyayangi, tapi mulai sekarang perkataan itu hanyalah kebohongan. Karena ... aku akan menghilangkan sosok adik dalam diriku juga. Pelukan kita tadi adalah pelukan terakhir yang menandakan berakhirnya hubungan persaudaraan kita," ujar Alexia masih mempertahankan ekspresi dan nada tenangnya.

Reviano mengernyitkan dahi tidak mengerti. "Apa maksudmu?"

"Aku tidak mau menjadi orang bodoh dengan terus-terusan berharap Kakak yang mengancam akan membunuhku di masa depan dapat segera berubah. Sekarang ... aku akan menyingkirkan perasaan kekeluargaan supaya dapat bertahan hidup." Alexia melangkah sekali ke depan, sekarang posisinya bersebelahan dengan Reviano. "Aku akan melawanmu, Pangeran Reviano. Kupastikan ketika kau mengayunkan pedang ke arahku di masa depan, aku akan lebih dulu menusukmu."

Takdir Takhta Berdarah ✔ EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang