6

102 85 43
                                    

"Sudah siap pulang?" Tanya Mas Izal padaku yang masih merapikan tas punggung memasukan baju-bajuku kedalamnya.

"Ziah bisa sendiri, Mas gak perlu anterin Ziah." jawabku yang kesusahan dengan tas pungung yang sudah penuh tapi masih ada beberapa baju belum masuk kedalamnya. Aku tak menyangka ternyata aku kabur membawa baju sampai satu lemari seperti ini.

"Gak papa saya sekalian mau ketemu sama kakek." balas mas Izal yang juga turut membantuku memasukan baju-baju ke dalam tas.

"Kakek?" ulangku merasa asing dengan panggilan itu.

"Mbah mu."

"Mpung?" tanyaku balik.

Terlihat Mas Izal yang hanya mengangguk-angguk saja.

Sejak kapan Mas Izal juga memanggil Mpungku dengan sebutan kakek? Apa mereka sudah sedekat itu, atau karena adanya perjodohan ini saja? Ahh, aku tidak peduli dengan apa yang akan terjadi kedepannya. Apalagi pernikahan kakakku yang terhitung hanya tinggal 2 hari lagi berarti pernikahanku pula akan segera di persiapkan.

Jujur aku masih merasa tidak bahagia, aku hanya kalut tak bisa berbuat apa-apa. Walau Mas Izal lelaki baik tapi hati kecilku masih belum yakin memilih dia untuk jadi imam masa depanku. Atau mungkin karena aku masih terlalu muda untuk menentukan yang terbaik untuk hidupku. Dengan keputusan yang ku ambil sekarang pun, aku rasa ini semua hanya rasa pasrah yang tak berdaya untuk terus memberontak.

Kemarin aku dapat kabar katanya nenek nangis terus, bahkan mamah katanya tidak terlihat makan seharian. Aku jadi khawatir takut mereka kenapa-kenapa, apalagi akan ada pesta di rumah jangan sampai mereka sakit dan malah menghambat acara pernikahan.

"Kalo belum siap pulang, kamu bisa tinggal dulu di sini. Biar saya yang jelasin ke mereka keadaan kamu sekarang."

Aku beralih menatap Mas Izal saat mendengar ucapannya. Begitupun dia yang juga menatapku sejak tadi, yang membuatku agak kikuk di dekatnya. Posisi kami yang memang duduk berhadapan.

"Tidak perlu Mas, Ziah khawatir dengan keadaan nenek dan mamah."

Kini aku sudah berada di halaman kost mewah yang kutinggali 4 malam itu. Kenapa jadi 4 malam karena ternyata demamku tidak turun-turun, bahkan Mas Izal sempat menawariku untuk di bawa kerumah sakit tapi aku menolak. Yakin akan calon suamiku sendiri bisa menyembuhkanku. Iya calon suamiku!

Yang masih menjadi pertanyaan, kenapa Mas Izal bisa punya kost-an mewah di daerah kota kecil seperti ini. Dari kota tempat tinggalnya saja bisa sehari semalam dengan jalur darat untuk sampai sini lalu bagaimana bisa dia membangun kost-kostan jika jaraknya sejauh itu. Belum lagi pekerjaannya yang seorang dokter tapi kulihat tidak pernah dia pergi bekerja. Herankan kalian? Sama!

Aku melihat Mas Izal masuk menuju mobil yang terparkir di halaman kost annya. Lalu duduk di bagian pengemudi mobil, kemudian menurunkan kaca mobil di sampingnya.

"Ayo." instruksi Mas Izal padaku yang masih berdiri di halaman.

"Kemana?" aku bertanya dengan kebingungan.

"Katanya mau pulang." jelas Mas Izal lagi. Entahlah kok aku jadi lola begini, mungkin karena terlalu banyak berfikir mengenai kehidupan Mas Izal yang masih misterius untukku.

Aku menggeleng seraya menggaruk tengkukku sendiri yang bahkan tidak gatal sama sekali. Jujur ini agak memalukan, aku bersikap konyol di depan calon suamiku. Eh!
Ah lupakan soal itu. Dengan canggungnya aku duduk di samping sebelah Mas Izal yang akan menyetir mobil. Membiarkan mobil perlahan melaju membelah jalanan yang berdebu.

JANGAN RENGGUT MASA DEPANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang