"Mas Izal astagfirullah darah. Jangan tidur yah Mas, tahan Mas." disela isakan,aku berucap pada Mas Izal yang kepalanya berada di atas pangkuanku.
Tubuh Mas Izal yang sama bergetar menahan sakit di perutnya terlihat mengenaskan. Aku berharap ada orang lain yang lewat dan bisa aku mintai bantuan. Mobil Mas Izal sudah di bawa preman tadi, tas dan hp kami tertinggal di dalam mobil. Aku tidak bisa menghubungi siapapun.
"Hiks, M-mamah tolong Mas I-izal. Ibuk, Uwa, tolong... Hiks Mas tolong bertahan sebentar aja. Kita a-akan segera ba-bawa mas Izal kerumah sakit." aku berkata sekaligus meyakinkan diriku sendiri yang sama ketakutan dan bergetar berharap semoga ada bantuan segera datang. Melihat mas Izal semakin mengeliat tak nyaman dan menekan bagian perut yang ditusuk semakin aku ketakutan. Aku takut hal yang tidak di inginkan terjadi, aku belum siap kehilangan.
Mas Izal yang masih tersadar menatapku dalam, aku yang mendekap kepalanya mengusap keringat dingin di keningnya.
"Bertahan yah mas." lirihku bahkan hingga tak bersuara, hanya isak tangis yang mendera.
Mas Izal mengangguk pelan dengan senyuman yang tiba-tiba terpatri di bibirnya. Aku membalas senyuman itu, namun malah membuatku semakin menangis. Hatiku ikut terluka melihat Mas Izal yang seperti ini. Aku bisa merasakan sakit yang dirasakannya sekarang.
"Saya... Benar-benar... ci-nta sama kamu Ziah....
"Bukan karena... Perjodohan ini.. Saya.. Ma-u... Menikahi ka-mu." setiap sepengal kata yang di ucapkannya serasa menghantamkan beton di dadaku. Sangat sesak mendengarnya, untuk pertama kalinya dia mengakui perasaannya padaku.
Disaat dia berada di antara hidup dan matinya.
"Sa-ya sangat sa-yang sama kamu." jedanya, mengangkat tangan membelai wajahku. Tak perduli noda darah berceceran mengotori tubuhku aku menggenggam jemari ringkih milik Mas Izal. Menggenggamnya erat jangan sampai terlepaskan.
"Te-rima-kasih, sudah menerima saya Ziah." ucapnya sebelum akhirnya tangan hangatnya meluruh dengan disertai matanya yang tertutup rapat.
Aku panik dan takut, takut ini menjadi akhiri dari segalanya. Takut genggaman tangannya tak bisa aku rasakan lagi. Takut sosok yang baru saja aku rasakan kenyamanan saat bersamanya belum genap 24 jam sudah tak bisa aku rasakan kembali.
"Mas Izal jangan tidur, Ziah juga sayang sama Mas Izal hiks... Hiks. Mas bangun, buka matanya lagi. Liat lagi Ziah Mas, dengerin Ziah mau utarain perasaan Ziah juga. Mas Rizalga... Ziah marah kalo sampai Mas gak dengerin Ziah..." aku mengguncang dan berteriak memanggil namanya. Namun Mas Izal seakan nyenyak dengan tidurnya.
"Mas bangun, ayo kita pulang hiks. Ziah gak sanggup ngangkat tubuh bongsor Mas Rizalga hiks. Mas pernah bilang bakal jagain dan bahagiain Ziah kan tapi kenapa sekarang bikin Ziah ketakutan seperti ini. Mas Izal hiks, bangun... Ziah bilang bangun hiks...." teriakanku tertahan dikalahkan dengan sesak di dada yang lebih mendesak.
Untuk bernapas pun serasa sangat sulit. Saat perlahan suhu tubuh di dekapanku mendingin terbujur kaku tak berdaya. Aku hanya bisa menangis meraung sendirian, bersama harapan yang perlahan sirna. Tidak ada seorang pun pertolongan datang yang bisa membantuku.
***
"Makan dulu yah sayang, nanti kamu sakit." Tina-mamah Ziah membelai kepala sang anak yang masih tertutupi hijab peach yang terdapat bercak darah meminta Ziah untuk makan.
Tak ada respons yang di tunjukkan Ziah, hanya pandangannya yang kosong menatap lantai. Dari mereka membawa Ziah pulang dia sudah tidak banyak bicara. Izal yang sudah di tangani dokter sementara Ziah keluarga bawa paksa pulang. Mereka tau Ziah tidak baik-baik saja dan berinisiatif berharap di bawa pulang Ziah bisa istirahat di rumah membantunya lebih cepat baik lagi.
Namun sepertinya Ziah sangat terguncang dengan apa yang di alaminya. Menimbulkan psikis nya yang terluka serta mentalnya yang goyah. Apa yang di alaminya membuatnya trauma. Rangkaian memori menyeramkan mungkin tengah menghantuinya.
Hingga rasa takut yang amat besar akan keadaan Izal terlihat jelas di wajahnya. Ketakutan dalam kehilangan seseorang sangat mendominasinya sekarang. Air mata yang terus mengalir tanpa bisa di cegah namun tanpa isakan itu lebih menyakitkan.
"Mas Izal pasti baik-baik aja Zi, dia pasti bakal marah kalo liat kamu kaya gini. Kamu harus makan." teh Isfa berusaha membuat Ziah tersadar. Sikapnya yang seperti ini malah menambah beban saja, padahal mereka sudah sangat di khawatirkan dengan keadaan Izal.
"Mau yah makan nak?" kini ibuk Gandis yang berusaha membujuk.
"Ibuk yakin Mas Izal kuat, jadi kamu juga harus kuat biar Izal semangat buat sembuhnya yah. Yakin sama ibuk Mas Izal gak akan kenapa-kenapa." lanjut buk Gandis menyemangati Ziah dengan kata-kata motivasinya. Menyalurkan pelukan hangat untuk calon menantunya.
Terlihat Ziah merespons dengan gelengan samar. Orang-orang di sekitarnya dibuat terdiam.
"Ziah... Mau sama Mas Izal." hingga akhirnya suara lirih itu keluar dari mulut yang bergetar menahan tangisnya.
"Ziah mau sama Mas Izal buk hiksss....." Ziah kembali berucap yang kini seperti memohon untuknya di pertemukan dengan Izal.
Semua orang yang mendengar tangisannya ikut merasakan sedih. Mungkin memang tidak seharusnya mereka di pisahkan seperti ini. Namun keadaan Ziah juga sangat memprihatinkan, tidak memungkinkan juga untuk dia menjaga Izal yang sekarang tengah kritis di RSUD.
"Iyah sayang, nanti kita ketemu sama Mas Izal yah. Tapi sekarang kamu harus makan dulu, isi dulu energi kamu buat ketemu Mas Izal yah." bujuk uwa Sudji yang sudah mengangsurkan piring berisi nasi dan lauknya.
Ziah menatap Uwa Sudji yang di hadapannya sudah siap mau menyuapinya. Pandangan kosongnya terlihat sangat putus asa, mengingat terakhir kali wajah lelaki yang menjadi calon suaminya pucat pasi, Sudah seperti tak bernyawa. Harapan besarnya tuhan memberi keajaiban untuk Mas Izal.
Seakan alam pun menolak perjodohan ini Ziah siap jika memang harus membatalkan apa yang sudah di rencanakan. Dari awal dia sudah menentangnya memang keputusan yang benar. Ziah gak bisa jika harus melihat orang-orang baik di sekitarnya terluka karenanya. Mas Izal harus terluka juga karena menyelamatkan dia dari serangan kedua preman.
Dalam diamnya, Ziah mengambil piring dari tangan Uwa Sudji. Perlahan menyendokan nasi kedalam mulutnya dengan air mata yang kembali mengalir deras. Uwa Sudji yang melihat itu sangat terluka, entah mengapa dua insan itu tengah di uji sebegitu beratnya.
Tina membelai sayang kepala putrinya yang masih terisak di tengah kunyahannya. Sebagai ibu dia mau yang terbaik untuk anak-anaknya, setiap luka dan air mata yang menetes seakan sejuta duri yang mengoyak hatinya. Di hari bahagia anak pertamanya tapi menjadi luka buat anak keduanya. Seakan mimpi buruk telah di alaminya Tina meminta untuk segera dibangunkan saja.
"Yang kuat yah Nak, kamu gak sendiri, ada mamah, nenek, kakek, teh Isfa Ibuk Gandis, Uwa Sudji dan yang lainnya selalu ada buat kamu. Kita berdoa buat kesembuhannya Mas Izal yah. Yakin kalo Mas Izal bakal sembuh." Tina mendekap putrinya yang bergetar menahan raungan tangisnya.
Karena hari semakin larut malam, keluarga memutuskan Ziah untuk segera mengistirahatkan tubuhnya. Dan besok pagi meraka baru akan menemui Izal di RSUD.
~tbc~
⏳
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN RENGGUT MASA DEPANKU
Ficção Geral"Mas Rizalga... Tunangannya Ziah... Kapan buka matanya?" suaranya terdengar sangat bergetar,namun berusaha dia untuk tidak menangis. "Katanya Mas Izal bakal berusaha bahagiain Ziah, mana buktinya?... Ziah gak minta banyak, cuma minta satu..." terde...