Mataku perlahan mulai terbuka lebar, menerima kembali cahaya dari dunia yang fana ini. Sedikit meregang otot-otot tubuh yang terasa kaku, lalu aku di suguhkan pemandangan indah di hadapanku.
Lembayung jingga seakan bercermin di mataku. Matahari yang perlahan kembali keperaduannya ternyata meninggalkan kisah indah di baliknya.
Entah sejak kapan mobil Mas Izal sudah terparkir di atas perbukitan yang indah ini. Yang tepat tengah menyuguhkan sanset di atas pegunungan dari jarak berkilometer dari tempat kami berpijak. Aku baru tau ada tempat indah seperti ini di kampungku.
"Oh, Sudah bangun Zi." suara serak khas orang bagun tidur terdengar dari arah sampingku.
Aku menoleh tanpa menyurutkan senyumku pada Mas Izal. Aku bertanya melalui mataku yang menatap pada Mas Izal. Kenapa mereka bisa ada di sini, dan Ziah sangat bahagia akan hal itu. Ingin mengatakannya tapi malu, tidak berani.
"Indah ya!?" ujar tanya dari bibir yang juga tersungging senyum. Matanya sama pandangan denganku, menatap semburat jingga di ufuk barat.
Aku mengangguk membenarkan perkataan Mas Izal. Aku sangat bahagia menyaksikan hal jarang dalam hidupku. Selama hidupku aku hanya menghabiskan waktu dengan hal yang tidak aku sukai.
Tidak banyak orang yang tau bahwa hidupku sangat tertekan. Mengurung diri di rumah seharian tak punyai teman menjadi makanan keseharianku. Berkutik di dalam kamar dan berinteraksi dengan sanak sodara saja, dan terus berada di lingkaran itu.
Keluar rumah saat hanya sekolah saja setelah itu balik lagi mengurung diri di kamar. Paling keluar main di kampung sini saja dengan para tetangga yang sudah berumur semua. Tidak ada teman sebaya karena mereka lebih suka main diluar nongkrong-nongkrong sesuai jamannya. Namun itu tidak berlaku untukku.
Bukannya aku tidak mau seperti mereka, hanya aku mawas diri saja. Lahir dari keluarga sederhana aku di ajarkan untuk bisa hidup hemat dan tidak bebas dalam pergaulan. Karena dari pergaulan yang bebas itu sangat mahal. Mana ada nongkrong di Starbucks tidak bawa uang, kan.
"Ziah suka banget Mas bisa liat sunset. Baru tau juga ada tempat seperti ini. Ziah bahagia banget." dengan rasa malu-malu kucing aku mengungkapkan rasa senang ini di hadapan Mas Izal. Biarkan dia berfikir aku katro, karena hanya dengan hal sederhana ini saja aku sudah sangat bahagia.
Kulihat dia menolehkan lehernya padaku, mungkin benar dia akan berfikir aku katro. Apalagi di perjelas dengan sikapnya yang hanya terdiam menatapku tanpa arti. Ah aku tidak peduli, pokoknya aku sangat berterimakasih karena sudah di bawa ketempat seindah ini.
"Terimakasih." lirihku kemudian. Saling menolehkan pandangan namun tidak ada yang kembali bersuara. Seakan pemandangan di depan sana tidak kalah indah mereka lebih asik dengan pandangan mereka masing-masing.
Aku tidak tau ini apa, tapi aku merasakan hatiku menghangat. Seakan kebatuannya diriku yang tak bisa menerima Mas Izal perlahan di hancurkan lebur hanya oleh rasa kebahagian ini. Aku nyaman dan merasa aman di dekatnya.
Tersadar dari tatapan itu, aku yang kemutuskannya pertama. Kembali menolehkan pandangan menatap depan yang sebagian besar matahari sudah tenggelam di makan gunung yang berjejer tinggi jauh di sana. Aku gugup lama-lama berada di keadaan seperti ini.
Tak terasa langit diluar sudah gelap, azan pun sedang berkumandang. Kami memutuskan untuk segera pulang, semoga sempat untuk melaksanakan sholat magrib karena dari bukit ini kata Mas Izal jauh lagi ke tempat yang banyak daerah penduduknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN RENGGUT MASA DEPANKU
General Fiction"Mas Rizalga... Tunangannya Ziah... Kapan buka matanya?" suaranya terdengar sangat bergetar,namun berusaha dia untuk tidak menangis. "Katanya Mas Izal bakal berusaha bahagiain Ziah, mana buktinya?... Ziah gak minta banyak, cuma minta satu..." terde...