5

116 87 54
                                    

Cahaya perlahan menyapa netraku, membukanya perlahan menyesuaikan kebutuhan daya pupil mata. Aku mendudukkan tubuhku di atas ranjang ada rasa pening kurasakan.

Aku lupa dengan apa yang sudah terjadi sampai sekarang sudah berada di kamar kost ku lagi. Bahkan kini terpasang selang infus di tangan kiri. Tidak ada yang bisa kutanyai, sendiri dan kesepian aku di sini.

Kembali aku merasakan sakit di bagian perut, kukira rasa itu sudah menghilang. Jika di pikirkan lebih baik aku tidak sadarkan diri lagi saja. Saat kenyataan kini aku hanya sendiri, lagi , tidak ada yang bisa ku mintai tolong. Miris!

"Ziah pengen pulang, Maahh." air mataku luruh begitu saja, merasa lelah menghadapi ini sendirian. Aku masih butuh mereka, ke egoisanku tuai sendiri. Aku menyesal!

"Ini sudah malam, besok saja pulangnya. Sekarang kamu makan." suara itu, datang dari arah pintu. Mas Izal membawakan bubur yang masih mengebul di atas nampan dan mengangsurkannya di hadapanku.
"Kenapa?" tanyaku.

"Apanya?" alisnya terangkat heran dengan pertanyaanku.

"Ziah gak butuh Mas Izal peduliin, Ziah bisa sendiri. Mas keluar aja bawa juga buburnya Ziah gak lapar." hati dan ucapanku benar-benar tidak sinkron, Ego menguasai penuh diriku.

Tidak ada jawaban dari Mas Izal, dia kini hanya mendudukkan dirinya di sampingku. Mulutnya menghela nafas kasar, dan menatapku lembut. Why, Sabar sekali lelaki dihadapanku ini!

Kemudian tangannya menyendokkan bubur dan mengarahkannya di depan mulutku. Aku tersentak dengan sikapnya.

"Mas mau ngap..." satu sendok penuh bubur hangat masuk ke mulutku. Terpaksa aku mengunyah dan menelan bubur itu, sampai suapan terakhir bubur itu sudah habis.

Mas Izal menyodorkan minum padaku, "Pake segala nolak habis jugakan."

'Pufftr' air yang belum sempatku telan menyembur semua mengenai baju Mas Izal. Kata-kata Mas Izal jugalah penyebabnya, sungguh aku malu sekali di sini. Aku seakan-akan menjilat ludahku sendiri, aish.

"Ish, baju saya basah Ziah. Pelan-pelan kalo minum." gerutu Mas izal menepuk-nepuk bajunya.

"Masnya juga sih..."

"apa?"

"Gapapa."

"Kalo ngomong yang jelas, saya kenapa?"

"Gapapa, kepo banget sih."

"Ga sopan yah."

"Mas Izal duluan."

"Bisa tidak jangan balas ucapan saya terus? Kamu seperti orang yang tidak di sekolah kan. Kurang ajar, kamu seperti tidak tau tata cara menghormati yang lebih tua." ucapannya menusuk sekali, mengenai mentalku. Tapi aku tidak marah, aku malah merasa malu di sini.

Aku menunduk merasa bersalah. Aku tidak mau menjadi anak seperti yang di ucapkan Mas Izal. Waktuku sekolah 9 tahun akan sia-sia jika benar aku seperti itu, tidak sopan dan kurang ajar. Makanya dengan itu aku ingin melanjutkan sekolahku.

"Maafin Ziah Mas. Maka dari itu, tolong jangan nikahin Ziah. Ziah mau lanjut sekolah." lirihku. Kepalaku terus tertunduk, rasa sedih mengapa aku jadi seperti ini. Apa yang kulakukan sangat sulit terkontrol.

JANGAN RENGGUT MASA DEPANKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang