Di lorong rumah sakit, anggota keluarga besar berjalan beriringan menuju salah satu ruangan. Di depan sebuah pintu bersterilisasi khusus mereka dapat melihat tubuh ringkihnya Izal yang di penuhi berbagai alat bantu di seluruh tubuhnya.
Ziah yang terkejut mengetahui bahwa seberapa parahnya luka Izal kemarin kembali menangis meraung. Dia tidak menyangka kejadian kemarin malam akan menjadi semengerikan ini.
"Buk, kenapa kepala Mas Izal juga di perban?" tanya Ziah disela menangis. Seingatnya Izal hanya luka tusuk yang paling parah, tapi kenapa kepalanya juga ikut di perban.
"Dia mengalami gegar otak Ziah, akibat kerasnya tendangan preman kemarin malam."
Deg...
Begitu tidak menyadarinya Ziah semalam, ternyata begitu banyak luka yang dirasakan Izal. Tubuh Ziah tiba-tiba melemas sampai dia tidak bisa menahan bobot tubuhnya sendiri. Bayangan saat-saat bersama Izal membuatnya merindukannya. Waktu singkat itu terasa berharga untuknya.
Masa dimana sulitnya Ziah menerima perjodohan dan sampai akhirnya mulai tumbuh kenyamanan saat bersamanya. Kenangan saat di rumah kost, tidur lesehan di lantai hanya beralas surpet tipis bahkan momen terakhir saat di bukit terasa hanya mimpi jika pada akhirnya berakhir duka begini.
Kematian tidak seorang yang mengetahuinya. Jodoh, rezeki dan maut sudah ada yang mengaturnya. Tapi jika harus Ziah ikhlas menukar itu dengan salah satunya, contohnya jodoh dengan maut. Ziah bisa ikhlas membatalkan perjodohan ini asal Mas Izal bisa kembali sehat seperti sebelumnya.
Karena jelas Ziah yang menjadi faktor besar Izal mengalami kecelakaan ini. Andai! Andai saja tidak ada yang menggodanya saat di hajatan itu mungkin mereka tidak akan pergi kebukit. Andai saja saat itu mereka pulang cepat mungkin kejadiannya tidak akan seperti sekarang. Andai Ziah tidak keluar dari mobil dan semakin mengundang amarah si preman mungkin preman-preman itu juga tidak akan melukai Mas Izal dengan benda tajam yang di bawanya.
Tapi semuanya hanya tinggal penyesalan, Ziah hanya menyalahkan dirinya sendiri yang merasa dia pembawa sial dengan semua yang sudah terjadi.
"Ini semua karena Ziah yah buk, Mas Izal jadi kaya gini. Karena ngelindungi Ziah dia jadi kaya gini, harusnya..."
"Suuttt, kamu jangan ngomong seperti itu. Ini kecelakaan nak. Berdoa saja semoga Mas Izal bisa cepat sadar dan bisa melewati masa kritisnya." ibuk Gandis mengusap-usap punggung Ziah yang bergetar. Memberi sedikit kekuatan walau tak luput dia juga sangat terluka dengan keadaan anaknya.
Ziah hanya termangu, semua kata-kata yang di dengarnya serasa hanya halusi belaka. Dia hanya ingin Mas Izalnya segera kembali sadar, lalu dengan cara apa itu bisa terjadi?
Otaknya berfikir keras, hal yang bisa cepat membangunkan Mas Izal dan juga hal yang menghambat kebangunannya. Dia akan melakukan segala cara jika itu bisa menyegerakan Mas Izal sadar dari kritisnya.
"Ziah pengen ketemu Mas Izal." lirih Ziah di saat semua orang terdiam menatap iba padanya Seketika tersadar saat itu juga.
"Boleh sayang, yuk Uwa antarkan ke ruang sterilisasi nya." Uwa Sudji mengantarkan Ziah sampai dia memakai baju steril sebelum masuk keruangan Izal.
Di dalam ruang ICU Ziah menatap sosok yang tengah nyaman tertidur dengan alat-alat pembantu kehidupan di sekelilingnya. Dia tidak lagi menangis, melainkan senyum yang turut menyesakkan dadanya iya tunjukan disana. Berjalan perlahan menggapai tangan dingin lalu menggenggamnya hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
JANGAN RENGGUT MASA DEPANKU
General Fiction"Mas Rizalga... Tunangannya Ziah... Kapan buka matanya?" suaranya terdengar sangat bergetar,namun berusaha dia untuk tidak menangis. "Katanya Mas Izal bakal berusaha bahagiain Ziah, mana buktinya?... Ziah gak minta banyak, cuma minta satu..." terde...