Suasana pasar malam yang ramai seolah menyambut kedatanganku dengan Zilian. Mataku tidak hentinya mengedar, menatap ke sekeliling yang dipenuhi dengan lampu-lampu serta stand-stand makanan dan minuman. Banyak pula yang berjual pakaian, aksesoris murah dan lucu, serta permainan yang asik seperti; memanah balon, memasukkan panah ke wadah dengan jarak yang ditentukan. Pun di sini ada komidi putar dan tong setan yang memacu degup jantung saat menyaksikannya.
Aku merapatkan jaket milik Zilian, yang dipakaikan laki-laki itu sebelum pergi ke sini, saat angin bertiup. Lantas kakiku melangkah ringan berjalan sembari menarik Zilian agar ikut serta bersamaku ke arah komidi putar. Antrian di depan cukup panjang, jadi Zilian memintaku untuk duduk sebentar dan dia yang pergi membeli karcis.
Sesekali aku melempar senyum ke arah anak-anak yang melempar pandang padaku. Telunjuk mereka terancung menunjukkan keberadaanku pada orang dewasa di sampingnya. Lucu dan ... menggemaskan. Andai saja dulu aku tidak keguguran, mungkin—tidak! Kehidupan yang lalu tidak boleh dikenang. Biarkan saja menghilang beserta nasib sialku setelah mengenal Mas Juan.
Pokoknya di kehidupanku ini tidak boleh ada lagi laki-laki yang namanya Mas Juan. Hanya boleh ada Zilian, laki-laki yang mencintaiku dengan tulus dan yang paling setia.
Dua sudut bibirku tertarik ke atas membentuk senyuman kala iris kecokelatanku melihat Zilian berlari kecil sambil membawa dua karcis di tangannya. Dia menyugar rambut yang mulai panjang ke belakang sembari memamerkan deretan gigi yang tersusun rapi.
"Ayo!" ajaknya sebelum kemudian mengulurkan tangan tanpa menghilangkan senyum yang tersemat di wajahnya.
Aku menipiskan bibir, meraih tangan Zilian lalu berdiri dari bangku panjang yang menjadi tempatku duduk untuk menunggu laki-laki itu. Astaga! Aku merasa seperti anak baru gede alias ABG yang sedang dimabuk asmara. Bawaannya pingin senyum sepanjang masa. Jantung senantiasa berdebar saat berada di dekatnya. Sepertinya aku benar-benar sudah dibuat jatuh cinta oleh laki-laki ini.
"Alea?" Zilian memanggil saat kami akan menaiki komidi putar.
"Hm?" Aku menoleh ke arah laki-laki yang terus memegang tanganku itu
"Kamu tau hal apa yang paling ingin kulakukan di dunia ini?"
Kornea mataku bergerak, ke kanan dan ke kiri seolah tengah mencari jawaban sebelum kemudian aku menggeleng. Zilian tersenyum menanggapi sambil mengangkat tautan tangan kami ke atas, memperlihatkannya lalu berkata, "Bergandengan tangan sama kamu. Dulu aku selalu pengen lakuin ini, tapi enggak bisa. Sekarang aku merasa jadi orang paling bahagia karena bisa ngelakuin hal yang ingin kulakukan."
Benar. Aku yang dulu tidak pernah memedulikan apa pun selain nilai. Papa yang selalu mendoktrin kalau aku harus pintar, punya prestasi bagus agar kelak tidak sulit saat terjun ke dunia kerja, dunia sesungguhnya bagi orang dewasa.
Namun, setelah aku mengenal Mas Juan, aku mulai membuat diriku selalu berpusat pada semestanya. Apa-apa Mas Juan, melihat hal yang disukainya, teringat Mas Juan. Memakan makanan kesukaannya, berpikir pergi ke kantor Mas Juan untuk mengantarkan makanan kesukaannya. Segala hal yang kulakukan dulu, selalu berhubungan dengan Mas Juan.
Aku mengembuskan napas panjang. Ada rasa sesal yang menelusup dalam dada. Andai dulu aku tidak bersikap abai, menanggapi atau bahkan menerima cinta Zilian, mungkin jalannya akan berbeda. Mungkin—
"Alea? Kok, malah ngelamun? Mikirin apa?" Ternyata pasangan muda mudi yang sebelumnya berdiri di depan kami sudah masuk ke bianglala. Kini sudah tiba gilian kami saat bianglala yang berhenti berputar. Petugas di hadapan membantu membukakan pintu.
Zilian membantuku untuk masuk dan duduk di dalam bianglala terlebih dahulu sebelum disusul oleh laki-laki itu. Kami duduk berhadapan. Tempat yang mirip sangkar burung ini terlalu sempit hingga lulutku dan lutut Zilian saling bersinggungan.
Kepalaku meneleng, menatap langit malam yang semakin malam semakin pekat. Terlebih saat ini langit tidak cerah, maksudku tidak ada bintang maupun bulan yang menghiasi. Hanya gumpalan-gumpalan awan hitam yang menyelimuti.
Sembari mengembuskan napas panjang, aku berkata, "Kalau boleh jujur, aku masih enggak percaya sama semua yang aku alami. Kembali ke masa lalu setelah mengalami kematian. Agaknya ... terlalu mustahil. Aku merasa seperti bermimpi panjang, mengalami hal-hal buruk yang akan kusesali. Lalu setelah bangun, aku ngerasa harus menghindari hal-hal buruk yang terjadi di mimpi."
Adakalanya aku merasa apa yang kualami saat ini adalah mimpi. Namun, aku tidak dapat memungkiri bahwa semua yang terjadi ini nyata adanya, bukan bunga tidur belaka.
"Hm. Aku juga. Sebelumnya aku nggak pernah percaya sama mesin waktu. Aku merasa enggak mungkin ada manusia yang bisa menjelajahi waktu. Tapi setelah aku mengalami semuanya sendiri, merasakan bagaimana aku tiba-tiba kembali ke tahun terakhir kuliah, di saat usiaku tiga puluh tahun, aku baru percaya. Mungkin kalau aku menceritakan hal ini sama orang lain, mereka bakal ketawa dan ngasih aku label orang gila." Zilian menanggapi.
Bianglala berhenti berputar saat kami berada di puncak. Dari sini aku bisa melihat semua pemandangan indah di pasar malam. Lampu-lampu pedagang terlihat seperti bintang-bintang yang bersinar terang.
Zilian beralih duduk di sampingku. Seolah tidak peduli dengan keadaan sangkar yang kami tempati menjadi tidak seimbang, laki-laki itu tetap tidak mau kembali, dia memilih menjatuhkan kepala di atas bahuku.
Aku spontan menahan senyum hingga bibir berkedut. Sikap manja Zilian ini benar-benar membuatku kehilangan kata-kata. Dia ... terlalu menggemaskan sampai membuat tanganku tergerak mengusap kepalanya.
"Lupain tanggapan orang lain, Zilian. Kita hidup bukan untuk mereka. Kamu harus selalu bahagia, harus selalu tersenyum." Dan bersikap manja begini.
Ah, aku sangat-sangat menyukai Zilian versi manja seperti ini.
"Alea, aku nggak tahan lagi. Bisa nggak kita nikah sekarang aja?" Laki-laki itu memasang wajah polos saat melempar tatap ke arahku, seolah apa yang dikatakannya barusan bukanlah hal yang harus ditanggapi serius.
Aku terkekeh ringan, lalu menjatuhkan kecupan di bibir laki-laki itu. "Belum waktunya, Zilian. Lagian kita masih harus skripsian lagi."
Sumpah, ya, sampai saat ini aku tidak merasa seperti anak kuliahan. Isi otakku tidak terfokus pada tugas-tugas kampus. Yang ada hanya rencana agar bisa membebaskan diri dari Mas Juan. Dan sekarang aku harus segera menuntaskan segalanya agar hidupku kembali tenang.
"Oh, iya, Zi. Kamu ingat siapa selingkuhan Mas Juan? Orang yang katanya pengen dia nikahi?"
Zilian nampak berpikir sesaat sebelum dia menjawab, "Zavera? Iya, kalo enggak salah namanya Zavera. Kenapa?"
"Kamu tau dia di mana? Maksudku, aku mau jadiin dia sebagai penggantiku. Aku mau dia yang nikah sama Mas Juan." Karena hanya dengan begini, takdirku kemungkinan besar akan berubah sepenuhnya.
"Aku ingat. Dia teman satu fakultas sama kita. Dulu dia pernah naksir sama aku." Zilian melingkarkan tangan di perutku sembari mengusapnya pelan. "Tapi aku nggak pernah suka sama dia."
Aku bergeming. Otakku mencoba mengingat siapa Zavera, siapa perempuan yang pernah menyukai Zilian? Namun, atensiku teralihkan ketika suara ponsel yang kusimpan di tas berbunyi nyaring. Ada nama papa yang tertera di layar saat aku melihatnya.
"Papa?" Aku sempat melempar tatapan bingung ke arah Zilian sebelum mengangkat telepon dan mengaktifkan speaker.
"Iya, Pa?"
"Alea! Alea, tolongin papa sama mama, Nak!"
***
Selesai ditulis tanggal 7 Juni 2024.
Habis manis-manis kita langsung masukkkkkkk hahahahahahaha.
Btw, gessss kalo ada khilaf macam typo tolong bantu tandain yaaaaaaa.
See u!
Luv, Zea❤❤❤🔥🔥🔥🔥🔥
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Under The Galaxy (TAMAT)
Lãng mạnKalau begini terus, Alea bisa gila! Semenjak Alea sadar kalau dirinya terlempar ke masa lalu, mati-matian dia berusaha menghindari perjodohannya dengan Juan dan segala hal yang berhubungan dengan laki-laki itu agar tidak mati di tangan suaminya. Na...