Disclaimer dulu, ya. Buat kalian yang enggak cukup umur, kurasa bab ini bisa diskip karena memuat adegan 21+. Mungkin enggak terlalu brutal, tapi aku tetap mau mengingatkan.
Selamat membaca!
***
Berkat bantuan dari Dion—begitu teman Zilian memperkenalkan diri—akhirnya aku bisa membawa Zilian ke unit apartemennya, membaringkan laki-laki di sofa malas miliknya. Sementara Dion sudah pamit usai membantu.
"Ini anak masih kuliah, tapi udah kuat banget minum." Aku menggeleng tidak habis pikir dengan kelakuan Zilian. Apalagi jika mengingat racauan dan sikapnya yang random membuatku terkikik geli.
"Ternyata kamu selucu itu, ya, Zi." Andai tahu sejak awal cucu kesayangannya Direktur Utama P.T Bahari Raya ini menyukaiku begitu dalam, tentu saja aku akan memilih Zilian dan menjadikannya kandidat suami alih-alih Mas Juan. Ah, penyesalan memang selalu saja datang di akhir.
"Alea."
Panggilan Zilian membuat alisku terangkat. Aku yang semula berdiri memandangi wajah polos laki-laki itu lantas beralih dengan membungkukkan punggung sembari menjadikan lutus sebagai tumpuan untuk menyetarakan tinggi dengan wajahnya.
"Iya, Zilian? Kamu mau pindah ke kasur?" tanyaku. Namun, Zilian tidak menjawab. Laki-laki itu justru menarik pergelanganku tanpa aba-aba hingga aku jatuh menimpa tubuhnya.
"Zilian! Kamu mau—" Belum tuntas aku melontarkan protes pada laki-laki yang tiba-tiba memelukku erat, dia sudah menyela menutup bibirku dengan telapak tangannya yang bebas.
"Sssttt! Jangan berisik, Alea. Aku cuma mau tidur begini," ujarnya sebelum kemudian menjauhkan tangannya dari mulutku.
Di posisi seperti ini, dengan wajahku yang berada di dada Zilian, aku dapat mendengar dengan jelas detak jantung laki-laki itu. Pun aroma tubuh Zilian yang terkesan sangat maskulin membuatku nyaman meski bau alkohol yang melekat di bajunya sedikit mengganggu.
"Zilian, aku mau cerita." Hanya gumaman yang terdengar dari Zilian. Aku menipiskan bibir lalu kembali berujar, "Aku sebenarnya datang dari masa depan. Kamu tau, Zilian? Di masa depan takdirku buruk sekali. Aku ... akan mati di tangan suamiku sendiri."
Aku tahu cerita yang kusampaikan ini tidak akan diketahui oleh Zilian. Terlebih laki-laki dalam pengaruh alkohol yang akan membuatnya melupakan hal-hal sewaktu mabuk. Jadi, aku tidak perlu khawatir saat mengungkapkan identitasku padanya. Karena dia, akan melupa.
"Ironisnya orang menjadi suamiku itu adalah Juan. Aku dan dia menikah selama hampir sepuluh tahun. Kupikir dia akan mencintaiku sepenuhnya seperti aku mencintai dia dengan tulus." Aku menggeleng sembari menatap ke arah dinding buta yang hanya diisi dengan sebuah lukisan. "Waktu itu aku emang terlalu naif. Terlalu naif sampai rela dibohongi sampai sepuluh tahun lamanya.
"Hatiku sakit sewaktu tau dia selingkuh. Itu terjadi setahun sebelum dia membunuhku. Aku selalu berpikir, sebenarnya apa salahku? Apa kurangku? Selama ini aku mengorbankan segalanya buat dia. Kehidupanku, hobiku, cita-citaku, semuanya kukorbankan ketika ingin menikah dengan Mas Juan. Namun, apa yang kudapat? Pengkhianatan. Ma—"
Ucapanku terhenti seketika kala bibir Zilian menyentuh bibirku dengan lembut. Mataku yang semula terbelalak kaget dengan tindakan laki-laki itu yang tiba-tiba, perlahan memejam, menikmati setiap gerakan yang dilakukan Zilian.
Aku mulai terbuai. Kecupan yang semula ringan berubah menjadi semakin ganas hingga aku nyaris kehabisan napas. Mataku terbuka saat Zilian menyatukan kening kami. Ada kilatan penuh gairah pada iris gelap laki-laki itu.
"Alea ... gue mau." Zilian berkata dengan suara seraknya. Namun, aku tidak menjawab melainkan menjatuhkan diri pada pelukan laki-laki itu. Kekehanku lolos kala tangan nakal Zilian menelusup ke dalam bajuku, mengusap punggung dengan sensual.
Sial! Sisi Zilian yang ini begitu liar. Jika diteruskan bisa kebablasan. Namun, laki-laki itu benar-benar lihai memancing hasratku hingga naik ke permukaan. Mau tidak mau lenguhan lolos dari bibirku.
Zilian menarik senyum miringnya. Laki-laki itu lantas menahan punggungku agar tetap berada dalam dekapannya saat dia bangun dari posisi. Kakiku yang terbuka langsung memeluk tubuh Zilian kala laki-laki itu menggendongku, sementara dua tanganku memeluk lehernya.
Mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang. Meski sedikit cemas, aku tetap berharap jika pilihanku pada Zilian ini tidak salah karena dia ... berbeda dari Mas Juan. Zilian mencintaiku. Aku selalu memiliki tempat khusus di hatinya.
"Zilian," panggilku saat laki-laki itu membuka pintu kamarnya. Dia hanya berdehem menjawab. "Setelah ini, kamu harus berjanji. Jangan pernah tinggalin aku."
***
Jika bukan karena dering telepon milikku yang terus berbunyi, aku tidak mungkin membuka mata saat berada di merasa nyaman tidur di pelukan Zilian. Aku menyipit kala cahaya terang dari ponsel menyorot mata. Namun, aku langsung terbelalak kaget saat melihat nama 'Papa' yang terpampang di layar.
Astaga! Kenapa aku bisa melupakan kalau aku pergi secara diam-diam. Dan sekarang sudah pukul enam pagi. Entah apa yang membuat beliau meneleponku sepagi ini. Sembari mengembuskan napas panjang, aku menjauhkan diri dari Zilian, memegang selimut untuk menutupi tubuh sebelum mengangkat telepon dari papa.
"Iya, Pa?"
"Kamu sudah bangun? Alea, papa ada pasar. Tapi dompet papa ketinggalan. Papa udah banyak belanja ikan buat mama kamu. Tapi enggak bisa bayar. Kamu cepat ke sini, ya, antarin dompet papa." Mendengar apa yang diucapakan papa di seberang sana membuat aku mengembuskan napas lega. Ternyata papa tidak menyadari kalau aku tidak ada di rumah.
"Aduh, Pa. Aku lagi enggak di rumah. Aku lagi jogging sama Rona. Papa butuh uang berapa? Biar kubayarin pakai uangku dulu." Tolong ingatkan aku untuk meminta maaf pada Rona karena sudah menjual nama perempuan itu untuk berbohon pada papa.
"Ya, sudah cepat ke sini. Kamu kalo sudah sampai pasar ambil jalan ke kanan, ya, pasar ikan. Papa tunggu." Selanjutnya sambungan telepon terputus sepihak.
Dengan sedikit tergesa, aku memungut pakaian yang ada di lantai, lalu memakainya dengan cepat sebelum berjalan ke sisi ranjang yang lain, tempat di mana Zilian tidur dengan lelap. Tanganku terangkat mengusap rambut laki-laki itu sebelum pergi meninggalkannya tanpa sepatah kata atau pesan yang ditinggal.
Saat ingin melangkah keluar dari pintu unit apartemen Zilian, suara laki-laki itu menyentuh indra pendengaran hingga membuat niatku yang ingin pergi urung seketika.
"Lo anggap gue ini apa, Alea?" tanyanya. Mata laki-laki itu menyorot tajam ke arahku, seolah aku telah melakukan kesalahan fatal yang sulit dimaafkan. Keningku berkerut dalam sambil melempar tatapan bingung ke arah Zilian.
"Maksudnya?"
"Lo mau ninggalin gue gitu aja? Lo mau campakin gue setelah apa yang kita lakuin tadi malam?" Kekehan sinis lolos dari mulutnya. "Kalau gitu anggap ini kesalahan gue karena mabuk. Lo bisa pergi dari sini."
***
Selesai ditulis tanggal 29 Mei 2024.
Masih bisa nulis di sela kesibukan. Ah rasanya bangga walau kadang ngutang bab. Wkwkwkeke. Harusnya hari ini nulis bab 11, tapi tak sempat. Tapi kalau sempat, bakal kutulis malam ini juga biar nggak ada utang lagi.
See u.
Luv, Zea. ❤🔥🔥🔥
Bonus foto Alea dan Zilian
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Under The Galaxy (TAMAT)
Roman d'amourKalau begini terus, Alea bisa gila! Semenjak Alea sadar kalau dirinya terlempar ke masa lalu, mati-matian dia berusaha menghindari perjodohannya dengan Juan dan segala hal yang berhubungan dengan laki-laki itu agar tidak mati di tangan suaminya. Na...