21 Oktober 2019
"Ngeong.. ngeong.."
Pagi buta kucing itu mengendap masuk melalui celah pintu yang sedikit terbuka. Awalnya makhluk berbulu itu naik sendiri ke atas ranjang mendekati tubuh hangat tersembunyikan selimut tebal. Sambil mengeong-ngeong dengan bahasanya sendiri, kucing putih itu mengacak-acak helaian rambut gadis yang terlelap di sana. Tidak selesai sampai disitu, kaki kecilnya tiba-tiba memukul wajah sayu di sana begitu keras sampai-sampai tubuh lenturnya terpental jauh dari ranjang. Dug! Hantaman kecil itu tentu saja membuyarkan Herlina dari tidurnya. Ia menengok ke arah pintu. Kucing yang menatap tanpa rasa bersalah itu adalah pelakunya.
"Piro! Dasar kucing nakal!" Tubuh yang terasa lemas itu dipaksakan berdiri. Bantal yang menjadi pijakan kepalanya dilempar ke arah Piro. Namun naas, kucing putih itu berhasil kabur menghindar.
Awas saja, waktu sarapan nanti kucing itu akan dicubitnya. Dengan perasaan sebal bantal yang tadi dilempar kembali dipungut Herlina. Langkahnya berjalan masih sedikit sempoyongan ketika mendekati meja belajar. Sambil memeluk bantal, smartphone miliknya diraih. Pagi sekali pesan terkirimkan dari grup Whatsapp osis. Pesan berisikan pengingat dari ketua osis akan acara ulang tahun sekolah yang akan digelar mulai dari hari ini. Karena itu, ia dengan yang lain harus tiba di sekolah lebih awal dari biasanya.
***
"Hai." Alika menghampiri di mana Herlina duduk sendiri. Sembari menunggu upacara dimulai, para anggota Osis masih menetap di ruangan mereka. Tak terkecuali mereka berdua.
"Aku lagi kesal sama kucingku, Piro." Ujar Herlina tiba-tiba menggerutu sendiri tanpa perlu ditanya ataupun membalas sapaan.
Alika sempat mengira gadis itu sedang bicara sendiri, tapi nyatanya perkataannya itu memang diutarakan untuk dirinya. Hingga Alika ikut duduk di samping Herlina lalu bertanya. "Kamu pelihara kucing? Dia memangnya kenapa?"
"Pagi buta tadi dia pukul wajahku pake kakinya." lanjutnya menatap Alika dengan ekspresi cemberut.
"Heft!.." Alika mengalihkan wajah menahan tawa. Membayangkan bagaimana mungkin gadis itu bisa dibangunkan oleh seekor kucing yang menjadi peliharaannya sendiri. Ada-ada saja.
"Mau kue Cookies?" Herlina menyodorkan sebuah toples bundar berukuran kecil. Tadinya segera diambil dari dalam tasnya. Tampak kaca bening dari toples itu sudah memperlihatkan isian kepingan berwarna coklat di dalamnya.
"Eh, boleh. Makasih." tutup toples dibukakan Herlina. Jemari Alika menggeledah isian toples kecil, mengambil sendiri kue Cookies untuk dicicipi. Setelah dilahap setengah, ia terkejut. Rasanya enak. "Kuenya enak."
"Makasih, itu Cookies buatanku loh. Hari Sabtu kemarin dibantu Renita." ujar Herlina lalu melahap juga kue buatannya.
"Heh, masa?!" Siapa sangka cewek jutek itu bisa membuat kue seenak ini.
"Kenapa? Terlalu manis, iya?"
Alika menggelengkan kepala sambil tersenyum. "Nggak. Ini udah pas kok."
Tidak heran juga. Yang buat kuenya tidak kalah manisnya, pikir Alika sambil cengar-cengir sendiri menatap ekspresi khawatir gadis itu terhadap kue buatannya. Menyadari pemikirannya itu membuat Alika refleks mencubit lutut sendiri. Sakit!
"Semua sudah lengkap? Sebelum turun ke lapangan kita kumpul dulu!" Ketua osis dengan suara lantang mengarahkan anggotanya.
Sebelum beraksi, para anggota osis melakukan briefing acara. Bahasan yang diberikan oleh ketua osis memang terbilang tidak sedikit meskipun sebagian dari isinya adalah pengulangan dari hasil bahasan rapat terakhir. Tidak lupa juga dengan aturan dan kode etik yang telah dibuat dan akan diterapkan selama acara berlangsung. Salah satunya seperti aturan tidak diperkenankan menggunakan smartphone bagi mereka yang bertugas. Aturan itu menjadi pengecualian bagi divisi publikasi ataupun ketika ada sesuatu yang mendesak dari anggota sehingga diharuskan menggunakan smartphone. Untuk membedakan anggota osis yang bertugas dengan siswa-siswi peserta, dress code yang digunakan adalah baju dinas lapangan berupa kaos warna orange dengan tulisan sablon osis di bagian depan.
KAMU SEDANG MEMBACA
ify. (REMAKE)
Teen FictionPenghujung tahun 2019 menjadi awal mula cerita mereka dimulai. Ketika Alika belum lama menginjak bangku sekolah menengah atas. Sebuah buku berjudul How Reality ditemukan dari dalam sebuah kotak kayu yang tersimpan di sudut ruang kerja ayahnya. Namun...