Buta

437 56 2
                                    

Empu Asmaya dan Mahapatih Munding Laya membawa Prabu Dygta kembali ke istana Rahuning, Permaisuri Rinata yang sedang menanti dengan menggendong Esa Kanagara sedikit lega melihat suaminya kembali tanpa luka parah, sedikitnya dia telah tahu dan mendengar kabar pertarungan suaminya dengan Pangeran Purana.

"Kanda" Panggil Rinata dengan lembut dan mesra, dia ingin menyentuh suaminya, namun balasan yang diterimanya benar-benar tak terduga.

"Jangan mendekat! Semua ini salahmu, kalau saja kau tak pernah memaksaku, aku tak mungkin kehilangannya" Dygta menepis tangan perempuan itu bahkan memandang wanita itu dengan kejam seolah ingin membunuhnya.

"Dygta, jangan bicara seperti itu. Dia istrimu, permaisuri negeri ini. Kemana kebijaksanaan dan juga tanggung jawabmu sebagai suami dan raja di negeri ini" Empu Asmaya mencoba melerai.

"Diam! Jangan bicara lagi empu. Kalian berdua adalah penyebabnya. Jika tau semua ini membuat hidupku menderita, lebih baik aku tidak usah menjadi seorang raja" Dygta renggut mahkota di kepalanya lalu benda itu dibantingnya ke lantai.

Dygta tau emosinya sudah diubun-ubun, dia tidak ingin kelepasan tangan membunuh siapapun yang ada di istana. Masih dengan tatapan mengerikan dia memandangi Empu Asmaya dan Rinata, lalu dengan seringai senyum pedih dia meninggalkan ruangan itu, menuju pondok pribadi di mana dia sering mengurung diri kalau lagi banyak masalah atau kangen berat kepada Danum.

"Kanda mau kemana?" Tanya Rinata lagi.

"Plakk" Dygta menampar wajah perempuan itu hingga terpekik kesakitan, hampir saja bayi dalam gendongannya terlepas, para dayang cepat mengambil bayi itu.

"Aku bilang diam! Jangan ganggu aku lagi" Dygta cepat-cepat pergi dari sana diiringi isak tangis Rinata.

"Prajurit!" Munding Laya memanggil seorang prajurit sambil memungut mahkota yang dibanting Dygta barusan.

"Hamba gusti patih"

"Lekas panggil Senopati Sondaka"

Prajurit itu lekas bergerak menjalankan perintah.
Sesaat kemudian Senopati Sondaka yang tengah melatih prajurit-prajurit muda datang menghadap.

"Ada apa kakang patih" Tegur Sondaka.

"Kita harus bersiap-siap. Perketat seluruh perbatasan. Kirim beberapa telik sandi ke Panca Arga"

"Apa maksudnya ini kakang?"

"Barusan saja terjadi pertempuran hebat antara gusti prabu dan Pangeran Purana hingga membuat seorang petingginya terluka"

"Siapa?"

"Raden Danum. Perbuatan ini aku takutkan akan menimbulkan gejolak keras dari pihak Panca Arga, bahkan terparahnya akan memicu peperangan" Ucap Munding Laya.

Semua orang di istana langsung terhenyak mendengarnya, mereka benar-benar menyesalkan kejadian ini.

"Bukankah kita telah membuat perjanjian damai?" Tanya Sondaka lagi.

"Perjanjian itu hanyalah barisan aksara di atas untaian lontar, kita telah menyulut api, lontar itu bisa terbakar jadi abu olehnya" Jelas Munding Laya lagi.

"Aku mengerti kakang"

"Bertindak seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jangan sampai rakyat tau dan merasa jiwanya terancam"

Sondaka mengangguk dan pergi untuk mengatur rencana menjalankan perintah.

"Laya, guru juga mohon pamit, ada urusan pribadi yang harus di selesaikan" Empu Asmaya ingin pergi pula setelah teringat kalau Dewi Cadar Hitam menunggunya di lembah Jambuara.

RENJANA DUA PRIA [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang