“Pah, boleh Bulan istirahat dulu sebentar? Mata Bulan perih,” adu Bulan pada sang ayah.Bima menggeleng. Matanya menatap tajam ke arah sang anak.
“Kamu tahu semenit saja kamu istirahat itu berarti kamu bakalan kehilangan uang itu,” jelas sang ayah.
“Kalau perih mata tinggal usap pakai tisu, nih!” Bima melemparkan satu kotak tisu ke arah Bulan.
“Itu nggak gratis. Kamu harus membayarnya dengan belajar giat,” lanjutnya dengan nada tegas.
“Tapi, Pah—“
Bima berjalan menghampiri anaknya dengan wajah memerah. Rahangnya mengeras.
“Kamu tahu, Papah nggak suka dibantah?!” Kali ini suara Bima meninggi.
Bulan sampai terkesiap dan menunduk ketakutan.“Tugas kamu hanya perlu nurut sama Papah. Jangan jadi anak pembangkang!” Bulan memekik lirih saat sang ayah memukul meja belajarnya dengan keras.
“Tapi, kenapa Kak Rain sama Kak Samudra nggak dituntut belajar juga?” Kali ini Bulan memberanikan diri untuk bertanya.
“Papah nggak adil. Harusnya mereka juga harus seperti Bulan juga!” Tanpa sadar suara Bulan meninggi.
“Jaga bicara kamu, Bulan! Mereka itu kakakmu!”
“Mereka itu tidak menyusahkan Papah! Kalau kamu, iya! Mereka selalu nurut ucapan Papah. Beda sama kamu yang sukanya membangkang.” Bima berdesis lirih.
“Kalau tahu begini, Papah harusnya nggak tebus kamu dari penculik. Harusnya kamu tahu diri uang Papah habis sama kamu, Bulan!”
Bulan menatap sang ayah dengan tatapan tak percaya. “Jadi karena hal itu Papah atur hidup, Bulan? Kenapa Papah harus tembus Bulan? Bulan nggak minta,” balas Bulan.
Plak!
Wajah Bulan berpaling. Gadis itu memegang pipinya yang terasa perih akibat tamparan keras Bima padanya.
“Harusnya kamu berterima kasih pada Papah, bukan malah ngelunjak kayak gini!” Bima berkacak pinggang menatap sang anak yang terlihat berkaca-kaca.
“Papah nggak mau tahu, selesaikan tugas yang Papah berikan tadi. Kalau kamu ngelawan, lihat saja apa yang bakalan Papah lakuin pada kamu,” ujar sang ayah sebelum pergi meninggalkan Bulan yang mengusap wajahnya dengan kasar.
Selalu saja begitu, ayahnya selalu mengancamnya. Mengingatkan rasa bersalah Bulan karena harus membuat Bima mengeluarkan banyak uang untuk membayar tebusan.
Bulan menghela napasnya, sebelum mengambil buku tebal di depannya. Kembali membaca semi kata di sana. Sesekali mencatat bagian yang penting. Sesekali ia mengucek matanya yang terasa perih akibat membaca terlalu lama.
Mata Bulan beralih menatap jam dinding yang menunjukan pukul sembilan malam. Masih ada satu jam lagi waktu gadis itu untuk belajar.
Bima selalu menyuruhnya belajar sampai sepuluh malam. Setiap hari seusai pulang sekolah, ia harus menghapal tiap buku yang berbeda.
Bulan mulai lelah, gadis itu menutup buku tebalnya. Ia sudah menguap beberapa kali. Hingga, matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukan pukul sepuluh malam. Itu berarti, ia bisa tidur.
Bulan melenguh kecil kala tubuhnya terasa kaku. Beberapa jam terduduk dan membaca buku membuat seluruh tubuhnya merasa sakit.
Bulan merentangkan kedua tangannya. Sebelum berjalan menuju ranjangnya untuk tidur.
Pukul 00.00
"Setan!"
Perlahan Bulan membuka matanya mendengar sayup-sayup orang yang tengah bertengkar. Gadis itu mengerjap pelan, lalu mengusap wajahnya kasar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Подростковая литератураTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...