Part 6 Jangan Pedulikan Aku

27 7 0
                                    

Happy Reading 🙂

Atla memandang Bulan yang membuka matanya secara perlahan. Lelaki itu dengan sigap menghampiri kekasihnya itu.

"Jangan banyak bergerak, Bulan. Kamu sedang demam," titah Atla yang hanya dibalas anggukan oleh Bulan.

"Ini pasti gara-gara kemarin hujan-hujanan, kan?" tanyanya.

Bulan diam tak menjawab.

"Lain kali jangan gitu lagi. Kalau aku nggak datang lebih baik kamu pulang aja," peringatnya.

Bulan tersenyum tipis di sela rasa sakitnya.

Bahkan setelah apa yang terjadi, Atla tidak meminta maaf. Lelaki itu malah menyalahkan dirinya padahal itu semua salah lelaki itu.

Terkadang Bulan lelah, selalu dipijak yang mengalah hanya karena ia takut kehilangan Atla.

"Sekarang kamu makan bubur, ya, biar cepet sembuh." Bulan menggeleng. Ia tidak mau makan.

"Makan, Bulan," titah Atla penuh penekanan.

"Sekarang buka mulutmu, aku yang suapi." Bulan ingin membantah. Namun, melihat Atla yang melotot tajam ke arahnya membuat gadis itu akhirnya pasrah.

"Udah, Atla aku nggak kuat," ujar Bulan dengan nada lemah. Bubur itu terasa pahit di lidahnya.

"Apa yang udah. Baru dua suapan, makan, lagi biar cepet sembuh. Aku juga yang repot nanti kalau kamu sakit," ujarnya mengelus rambut kekasihnya dengan lembut.

Bulan menepis tangan Atla yang akan menyuapinya. Membuat lelaki itu kaget dan menumpahkan bubur itu ke lantai.

"Bulan!" bentak Atla tak terima dengan apa yang dilakukan oleh kekasihnya itu.

Bulan diam. Hatinya sudah terlanjur sakit hati dengan perkataan Atla tadi. Semua tidak mengerti dirinya, bahkan saat ia sakit mereka mengatakan bahwa ia sangat merepotkan.

Memang siapa yang ingin sakit?

Tidak ada!

"Pergi." Satu kalimat yang keluar dari mulut Bulan membuat mata Atla membulat tak percaya.

"Kamu ngusir aku?" Atla memandang Bulan penuh selidik.

"Ya. Pergi dari sini sekarang juga," ketus Bulan. Gadis itu sudah muak dengan tatapan tidak berdosa Atla padanya.

"Kamu itu nggak ngerhagain banget jadi cewek. Pantes aja orang nggak mau hargain kamu lah, kamu kelakuannya kayak gitu," cibirnya.

"Nggak tahu terima kasih," lanjutnya.

"Ya. Aku akuin itu. Sekarang kamu pergi dari sini. Aku udah muak dengan segala omong kosong kamu!" Bulan berkata dengan nada tinggi matanya memandang tajam ke arah Atlantik.

"Aku cuma ingetin kamu, Bulan. Harusnya kamu pikirin itu bukan bilang semua ucapanku omong kosong! Ini semua demi kebaikan kamu," ujarnya berusaha sabar dengan Bulan yang keras kepala.

"Perlu kita berantem kayak gini pas aku sakit?" tanya Bulan sarkas. "Ucapan kamu nggak akan masuk ke kepala aku karena kepala aku udah penuh dengan janji-janji manis yang kamu ingkari," ujarnya sadis.

"Bulan!" bentak Atlantik.

"Apa? Mau bilang kalau aku keras kepala lagi? Aku pengen nanya kenapa aku harus nurut sama kamu?" ujar Bulan dengan nada menantang.

Atlantik menggelengkan kepalanya. "Kamu itu susah dibilangin, Bulan. Kamu nggak kayak—"

"Lica maksud kamu?" potong Bulan cepat.

Benua Atlantik (True Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang