(Kamu terlalu manis, iya manis. Sampai aku nggak nyadar yang manis itu bikin eneg.)
Rasa iri mulai melingkupi hati Bulan, kala melihat temannya Bintang kini tengah belajar melukis untuk perlombaan nanti. Sudut bibir gadis itu membentuk sebuah garis kala melihat sahabatnya yang terlihat tersenyum ceria.
Bulan ingin seperti Bintang juga!
Namun, Bulan harus menelan semua keinginannya. Papahnya—Bima tidak akan mengizinkannya menjadi seorang pelukis. Gadis itu dituntut untuk menjadi Dokter meneruskan keturunan keluarga.
Sebuah usapan di kepalanya membuat menoleh. Sudut bibir gadis itu melengkung membentuk sebuah senyuman lebar. Di sampingnya sosok Atlantik—kekasih yang sangat ia rindukan.
“Atlantik!” pekik Bulan menatap antusias ke arah Atlantik yang membalas senyumannya.
Melihat senyum itu entah mengapa membuat Bulan tersenyum. Kekasihnya itu memiliki lesung di kedua pipi putihnya dan ia tak pernah bosan melihatnya.
“Kamu jelek kalau nggak senyum,” ujar Atla membuat semburat merah muncul di pipi Bulan.
“Kenapa lagi, hm?” lanjutnya memberi usapan lembut pada pipi putih kekasihnya.
Bulan menggembungkan pipinya. Gadis itu menunjuk Bintang yang kini tengah melukis di tembok lapangan bersama yang lainnya.
Atla mengalihkan pandangannya menatap ke arah yang ditunjuk Bulan. Lelaki itu menetap kekasihnya yang sudah berkaca-kaca. Ia berbalik mengambil buku tebal di sampingnya sebelum menyobek satu kertas itu.
Atla menyodorkannya pada Bulan, hingga gadis itu menoleh, menatap kekasihnya penuh tanda tanya.
“Buat kamu. Aku membuatnya khusus untukmu,” ujar Atla.
“Kok aku nggak percaya kamu yang lukis ini, ya. Soalnya bagus banget.” Atla mengacak rambut Bulan dengan gemas.
“Kenapa kamu nggak jadi pelukis aja, sih?” tanya Bulan membuat Atla menghentikan usapannya.
“Nggak. Karena hanya cuma kamu yang boleh liat lukisan punyaku,” ujar Atla membuat Bulan tersenyum senang.
Namun, sedetik kemudian gadis itu mengerutkan dahinya bingung. “Aku baru ngeh kalau di lukisan itu aku.”
“Kok ada tulisan lukisan dan bulan tanpa senyum?”
“Karena lukisan ini menggambarkan kamu yang jarang tersenyum, Bulan,” jawab Atla.
“Berarti aku jelek, dong? Kata kamu aku jelek kalau nggak senyum,” ujarnya dengan cemberut.
“Iya. Makanya kamu senyum dong! Biar kamu di lukisan cantik,” canda Atla membuat Bulan tertawa.
“Atla, kamu nggak gerah pakai Hoodie terus? Aku heran kenapa guru nggak pernah negur kamu karena pakai Hoodie ke sekolah,” tanya Bulan. Bibir gadis itu terasa gatal itu bertanya seperti itu.
Karena dari awal bertemu dengan Atla sampai menjadi kekasihnya, lelaki itu selalu memakai hoodie ke manapun.
“Udah biasa. Jadi nggak gerah. Kamu, kan tahu aku anak pemilik sekolah ini, mana mungkin mereka berani marahin karena aku pakai Hoodie ini.” Jawaban Atla membuat Bulan mendengkus.
“Dasar sombong!”
“Memang begitu kenyataannya, Bulan,” ujar Atla mengangkat bahunya acuh.
Bulan memukul lengan Atla karena kesal.
“Sakit, Bulan.”
“Dih, gitu aja sakit. Kamu, kan cowok harus kuat,” ujar Bulan.
Atla terkekeh pelan. “Cuma acting. Siapa tahu kamu usapin lengan aku yang kamu pukul. Tapi sayangnya kamu nggak peka,” ujar Atla yang dibalas cubitan kembali di lengan lelaki itu.
“Hih! Mencari kesempatan dalam kesempitan.” Atla hanya menanggapinya dengan kekehan pelan.
“Lalu, kenapa bawa buku tebal itu, nggak berat?” Atla mengalihkan pandangannya. Lalu melihat ke arah buku tebal yang ia pegang.
“Ini buat ngapalin. Kalau tiba-tiba lupa, aku bisa membacanya,” jawab Atla.
“Aku penasaran. Pengen baca dong!” Atla menggelengkan kepalanya.
“Kamu pasti pusing lihat rumus terus. Lagian tulisannya kayak ceker ayam aku malu,” jawab Atla membuat Bulan mengangguk mengerti.
“Kalau masalah rumus sih aku nggak mau. Kirain itu curhatan hati kamu, hehe,” ujar Bulan dengan nada cepat.
“Kalau ngomong jangan cepat-cepat kayak gitu, kamu bukan pembalap,” ujarnya dengan nada gemas. Lelaki itu memukul pelan buku tebal ke kepala Bulan membuat sang empunya mengaduh.
“Sakit, Atla!” pekik Bulan.
“Lebay!” Itu bukan suara Atla, melainkan sosok seseorang yang kini berjalan ke arahnya dengan angkuh.
Atlantica. Adik tiri Atla.
“Maksud kamu apaan, hah?!” teriak Bulan tak terima.
Orang-orang mulai menatap Bulan yang terlihat marah. Bintang tidak ada di sana. Gadis itu sedang berada di ruang guru. Ia membutuhkan sahabatnya itu. Karena Lica akan takut berhadapan dengan Bintang yang bar-bar.
“Lebay. Kena pukul buku pelan aja udh bilang sakit. Pengen caper, ya sama Kak Atla?”
“Oh nggak sakit, ya,” ulang Bulan. Gadis itu menarik paksa buku tebal yang di tanga Atla. Lalu, memukul dengan keras ke kepala Atlantica.
“Bulan!” teriak Atla.
Lelaki itu beranjak mendekat ke arah adik tirinya yang kini ambruk pingsan.
“Apa-apaan kamu! Gara-gara kamu Lica sampai pingsan kayak gini,” ujar Atla menatap tajam ke arah Bulan yang diam bergeming.
“Lebay. Dia nggak pingsan Atla! Dia Cuma pura-pura!” geram Bulan. Gadis itu sudah tahu akal bulus Lica. Bahkan gadis itu bisa melihat gadis gatal itu membuka matanya tadi.
“Kamu bilang lebay?!” seru Atla tak percaya.
“IYA. KAMU TERLALU BUTA DAN MEMBELANYA TERUS!” teriak Bulan menatap marah ke arah Atla.
“Sudah salah, malah nyalahin orang lain! Nggak tahu diri!” hardik Atla.
“Nggak tahu diri kamu bilang? Hanya karena kamu takut fasilitas kamu dicabut sama Papah?” ujar Bulan membuat Atla terdiam sejenak.
“Bukan urusanmu. Kalau terjadi apa-apa sama Lica kamu akan menanggung akibatnya, Bulan,” lanjutnya sebelum menggendong tubuh Atlantica yang tak sadarkan diri. Tak lupa lelaki itu mengambil paksa buku tebal miliknya di tangan kekasihnya membuat sang empunya meringis.
Atla, meninggalkan Bulan yang menatap nanar ke arah Atla yang terlihat panik. Beberapa kali lelaki itu menabrak orang-orang yang melihat ke arahnya.
“Kamu lebih percaya pada Lica daripada aku, Atla.” Air mata Bulan terjatuh tanpa diminta.
Bulan menatap nanar lukisan pemberian dari Atlantik.
“Aku lupa yang terlalu manis itu nggak enak, bikin eneg,” gumamnya, sebelum tangannya menyobek lukisan itu, membuangnya begitu saja.
“Lukisan dan bulan tanpa senyum, ya? Nyuruh senyum tapi kamu yang bikin aku nggak bisa senyum lagi,” gumamnya sambil terkekeh miris.
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Ficção AdolescenteTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...