Part 5 Bulan yang Kesepian

27 8 0
                                    

Happy Reading 🙂

Dalam keadaan tidur, Bulan mengcengkram erat selimut miliknya. Keringat mulai bercucuran di dahi gadis itu.

"Dingin," lirih Bulan.

Perlahan gadis itu membuka matanya. Rasa pusing mulai menyerang kepalanya. Bulan memaksa bangun, tetapi rasa pusing itu tak kunjung menghilang malah semakin menjadi.

Bulan menatap jam dinding di kamarnya yang sudah menunjukan jam sepuluh pagi. Gadis itu memejamkan matanya. Air mata mulai jatuh. Ia sudah tidak bisa menahan rasa pusingnya.

"Mamah, Papah, Bulan sakit," lirih Bulan.

Bulan yang kesepian. Bahkan ketika ia sakit, keluarganya pun tak mempedulikannya. Mereka sibuk dengan dunia masing-masing.

"Pah, Mah! Rain sakit!" Bulan bisa mendengar suara kakaknya Samudra memanggil Bima dan Sella dengan berteriak cemas.

"Ada apa?"

"Rain sakit, Pah." Bulan terkekeh dalam hati. Ia sudah menduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Ayo kita periksa dia, Pah. Mamah nggak ingin terjadi sesuatu pada Rain," balas sang ibu dengan nada cemas.

Bima mengangguk. Ketiganya pergi ke kamar Rain yang berada di sebelah kamar Bulan. Mereka bahkan tidak peduli kenapa anak bungsu mereka tidak keluar kamar.

"Pah sakit," rengek Rain.

"Yang mana yang sakit, Sayang?" tanya sang ibu memeluk tubuh anaknya yang kini menangis.

"Kaki Rain sakit, Mah!" rengeknya.

"Kenapa bisa berdarah seperti ini!" teriak Sella menatap anaknya cemas.

"Jatuh dari motor," ujar Rain.

"Biar Papah obati, ya," ujar Bima. Lelaki paruh baya itu dengan telaten mengobati anaknya yang menjerit kesakitan.

"Sabar, ya. Sebentar lagi sembuh," ujar Bima menenangkan sang anak yang menangis histeris.

"Entar kalau sembuh, Papah ajak kamu jalan-jalan, oke?" Rain mengubah tangisan menjadi tersenyum, gadis itu mengangguk senang.

"Makasih, Pah. Papah baik deh!"

Mereka tak menyadari jika Bulan mendengar semuanya. Gadis itu terkekeh miris. Bagaimana bisa keluarganya memperlakukannya tidak adil.

"Ngomong-ngomong ke mana, Bulan?" tanya Bima.

"Nggak tahu." Samudra mengangkat bahunya acuh. "Dia, kan pemalas kerjaannya tidur melulu," lanjutnya membuat Bima menggeram mendengarnya.

"Anak itu! Ini hari Minggu harusnya sekarang dia jahit baju, bukan tidur melulu," gerutu sang ayah menahan emosi di dadanya ia sudah lelah dengan kelakuan anak bungsunya itu.

"Biar aku periksa, Pah," ujar Samudra yang dibalas anggukan oleh Bima. Sedangkan Sella tidak peduli, wanita paruh baya itu terlihat sedang menyuapi anak keduanya itu dengan penuh perhatian.

Bulan memejamkan matanya mendengar perkataan dari sang ayah yang menyakiti hatinya.

"Bulan bangun! Jangan tidur melulu dasar pemalas!"

Bulan terkesiap, kala sang kakak mengguncang tubuhnya dengan kasar. Gadis itu membuka matanya menatap Samudra yang terlihat menatapnya tajam.

"Kepala Bulan pusing, Kak," balas Bulan dengan suara lirih.

Bulan menatap takut ke arah Samudra yang terlihat diam bergeming. Tanpa kata lelaki itu meninggalkan adiknya yang memandangnya bingung.

"Kepalanya pusing katanya," ujar Samudra pada sang ayah.

Benua Atlantik (True Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang