Happy Reading 🙂
Bulan memeluk tubuhnya dengan erat. Gadis itu menggigil kedinginan. Angin yang kencang juga hujan yang deras membuat tubuhnya terasa beku.
Kali ini yang diharapkan Bulan adalah Atla menjemputnya. Namun, lelaki itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya sama sekali.
Bulan tersenyum kecut.
Bulan terkesiap kala sebuah motor berhenti di depannya. Bahkan, sang pemilik motor terlihat tidak peduli melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup akibat ulahnya.
"Atla," lirih Bulan.
Bulan menatap Atla yang baru saja membuka helm di depannya. Seperti biasa lelaki itu datang dengan memakai hoodie hitamnya.
Senyum Bulan mengembang. Setidaknya Atla menempati janjinya. Walaupun terlambat.
"Kenapa masih di sini, hah?!" hardiknya menatap tajam ke arah Bulan yang kini melengkungkan bibirnya menjadi garis lurus.
"Aku nungguin kamu, Atla," balas Bulan dengan suara menggigil akibat kedinginan.
"Bego! Harusnya kamu pulang aja! Nggak usah nunggu dan malah hujan-hujanan kayak gini!" sarkasnya.
"Tapi kamu udah janji buat jemput aku, Atla."
"Tapi, bukan berarti itu jadi alasan buat kamu nungguin aku, Bulan. Bodoh! Bisa nggak sih, kamu bersikap dewasa sekali aja, nggak nyusahin aku terus?" ujarnya dengan nada tajam.
"Bukan cuma kamu yang butuh perhatian, tapi Lica juga," lanjutnya.
"Ya, aku memang butuh perhatian. Tapi, aku nggak akan maksa orang buat perhatian apalagi nggak ikhlas kayak kamu!" desis Bulan menatap tajam ke arah Atla.
Atla meraup wajahnya frustasi. "Nggak usah kekanakan, deh!"
"Kamu sendiri yang kekanakan, Atla!" teriak Bulan tak terima.
"Percuma ngomong sama kamu. Kita pulang sekarang!" ujar Atla menarik kasar tangan Bulan menuju motornya.
"Aku udah nggak butuh bantuan kamu, Atla! Aku bisa sendiri!" teriak Bulan. Gadis itu menarik paksa tangannya dari cekalan kekasihnya.
Hujan mulai reda, dan Bulan akhirnya bertekad pulang sendirian tanpa Atla. Ia sudah terlanjur sakit hati dengan ucapan kekasihnya itu.
Bulan marah, kecewa pada Atla. Lelaki itu bahkan tidak mengucapkan kata maaf sama sekali. Ia malah menyalahkan dirinya atas semua yang Atla lakukan pada Bulan.
"Brengsek!" umpat Bulan menghapus air matanya kasar. Gadis itu bahkan tak mempedulikan Atla yang berlari sambil teriak memanggil dirinya.
"Kamu jangan seperti ini, Bulan. Kamu egois. Aku sudah jauh-jauh jemput kamu, lalu kamu pergi kayak gitu aja?" ujar Atla kala lelaki itu berhasil menangkap tangan Bulan.
Bulan menghela napasnya untuk menetralkan emosinya yang siap meledak kapan saja.
"Nggak usah kekanakan. Hilangin ego kamu. Kita pulang sekarang," ujar Atla menarik tangan Bulan.
Bulan hanya pasrah. Bukan berarti ia tidak ingin melawan. Hanya saja tubuhnya sudah lemas. Ia tidak mungkin melawan dengan keadaan tubuhnya seperti ini.
Hujan kembali turun dengan deras. Sepertinya hujan tahu bahwa Bulan sedang sedih hari ini.
"Kita berteduh lagi saja. Entah sampai kapan hujan ini reda. Kalau kamu tadi nggak nungguin aku, mungkin aku sudah ada di rumah sekarang," gerutu Atla yang tak dibalas sama sekali oleh Bulan.
Gadis itu hanya menatap kosong ke depan.
Bagaimana jika ayahnya marah karena Bulan absen belajar hari ini?
Bima tidak akan pernah peduli dengan alasan Bulan terlambat pulang. Karena ambisi ayahnya lebih besar daripada putrinya sendiri.
Terlalu lama melamun, Bulan sampai terkesiap kala Atla menepuk bahunya. Gadis itu menoleh menatap kekasihnya yang terlihat khawatir.
Benarkah Atla khawatir padanya?
"Dingin?" tanyanya yang dibalas anggukan oleh Bulan.
Sudut bibir Bulan tertarik ke atas. Seberapa kali pun, Atla marah-marah. Kekasihnya itu pada akhirnya memberikan perhatian.
Kalian boleh menganggap Bulan gadis naif, tetapi itu memang benar. Tidak mendapatkan perhatian dari keluarganya membuat gadis itu haus akan perhatian dari orang lain.
Hanya Bintang sahabatnya dan Atla sang kekasih yang selalu memberi perhatian padanya.
"Tunggu hujannya reda, ya," balasnya membuat sudut bibir Bulan kembali melengkung ke bawah.
Bulan menunduk. Menyembunyikan rasa sedihnya.
Gadis itu pikir, Atla akan memberikan hoodie miliknya kepada Bulan. Memakaikannya dan berkata, Dingin, ya. Kalau begitu pakai Hoodie punya aku aja. Tenang aja, aku kuat kok, aku kan cowok kehujanan aja nggak papa.
Namun nyatanya, semua hanya khayalan Bulan saja.
"Kita pulang sekarang. Hujannya udah lumayan reda," katanya sebelum menarik tangan Bulan menuju motornya.
Bulan tidak mengerti dengan sikap Atla. Lelaki itu kadang terlihat tak peduli, kadang juga bersikap seolah lelaki itu peduli padanya. Seperti saat ini ia memasangkan helm ke kepala Bulan.
"Lain kali jangan begitu lagi, ya. Entar kamu sakit," ujar Atla.
"Ya, makasih Atla udah khawatirin aku," balas Bulan.
"Bukan gitu. Kalau kamu sakit kamu bakalan nyusahin semua orang. Makanya aku bilang jangan sakit," ujarnya tak mempedulikan wajah Bulan yang terlihat berkaca-kaca.
"Sudahlah ayo kita pulang. Udah jam sepuluh nih," ujarnya.
"Pegangan yang kenceng, aku mau ngebut!" teriak Atla.
Bulan memejamkan matanya. Tangan gadis itu mencengkram erat pinggang Atla. Ia ketakutan sungguh, kekasihnya itu seperti orang kesetanan menjalankan motornya tanpa mempedulikan Bulan yang menggigil kedinginan.
"Sekarang kamu masuk. Jangan mandi air dingin. Mandi air hangat, setelah itu tidur," ujar Atla yang dibalas anggukan oleh Bulan.
Bulan pergi meninggalkan Atla tanpa mengatakan apapun. Gadis itu kini merasa cemas. Membayangkan apa yang akan dilakukan ayahnya karena ia pulang terlambat.
Bulan membuka pintu dengan hati-hati. Gadis itu menatap ke sekeliling rumah yang terasa gelap.
Jika jam sepuluh pintu rumah belum dikunci, itu berarti ayah dan ibunya belum pulang. Bulan bernapas lega akhirnya. Gadis itu buru-buru pergi ke kamarnya dengan cepat agar tak ketahuan oleh kedua kakaknya itu.
"Akhirnya." Bulan memegang dadanya sendiri sambil bernapas lega. Jantungnya terasa berdetak cepat seperti baru saja dikejar hantu.
Bulan menaruh tasnya yang sudah basah ke sembarang arah. Tak mempedulikan bajunya yang basah kuyup, gadis itu langsung berbaring di atas ranjang.
Bulan akhirnya terlelap akibat kelelahan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Teen FictionTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...