“Aku lupa, janji itu dibuat untuk diingkari.”“Mulai sekarang belajar kamu Papah kurangi jadi dua jam.” Mata Bulan berbinar menatap sang ayah yang tengah melipat tangan di dada.
“Papah nggak bohong, 'kan?”
“Kapan Papah bohong sama kamu?”
Setiap hari! Bulan hanya bisa mengutarakannya dalam hati.
“Setelah belajar nanti, kamu bantu Mamah-mu jahit baju.”Sudut bibir Bulan melengkung mendengar hal itu. Nyatanya satu menit saja terlalu berharga untuk sang ayah.
“Biar hidup kamu ada gunanya. Sebelum jadi dokter, kamu harus bantu Mamah kamu buat baju perawat,” lanjutnya.
“Tapi Bulan nggak bisa jahit,” cicit Bulan.
“Belajar.” Telunjuk Bima mendorong kening Bulan dengan sedikit kasar.
“Papah pergi dulu. Jangan kecewakan Papah,” lanjutnya sebelum pergi meninggalkan Bulan yang berkaca-kaca.
“Nyatanya Papah yang bikin Bulan kecewa,” lirih Bulan.
***
"Aw!" Bulan meringis menatap jarinya yang terkena jarum.Bulan menutup matanya. Ia phobia darah! Gadis itu mengembuskan napasnya kasar berusaha untuk tidak pingsan.
"Kenapa kamu?" Bulan menatap Mamahnya yang kini memandangnya dengan tajam.
"Jari Bulan ketusuk," adu Bulan.
"Oh," balasannya singkat.
Bulan tersenyum kecil mendengarnya. Ia melupakan satu hal, berapa kali ia mengeluh, Ibunya tidak akan pernah peduli.
Mungkinkah kalau ia mati, ibunya akan peduli?
Sella beranjak dari duduknya. Wanita itu menepuk bahu Bulan pelan sebelum berkata, "Belajar terus jangan ngeluh. Kamu tiap hari cuma diam di rumah rebahan, jadi sekarang waktunya kamu berbakti sama kedua orang tuamu."
"Mamah mau istirahat dulu capek," lanjutnya sebelum pergi meninggalkan Bulan sendirian.
"Bulan juga capek, tapi kata mamah nggak boleh ngeluh," gumam Bulan pelan. Gadis itu menatap miris ke arah jarinya yang masih mengeluarkan darah.
"Kapan Bulan bisa istirahat?" keluh Bulan.
***
"Pah, Bulan minta uang buat ongkos." Bulan mengulurkan tangannya ke arah Bima yang terlihat tengah duduk di luar sambil membaca koran."Kamu nggak lihat Papah lagi, apa?!" Bulan terkesiap kala Bima membanting koran di depannya.
"Nggak bisa nunggu sebentar, ha? Kamu cuma bisa ganggu Papah aja!" Bulan menundukkan kepalanya.
"Maaf, Pah. Bulan takut kesiangan," balas Bulan.
Bima berdecih pelan.
"Pah, minta uang dong!" ujar seseorang yang tak lain Samudra.
Bulan menatap ke arah Rain dan Samudra yang kini berjalan dengan santai.
"Jangan lupa uang jajannya, Pah!" timpal Rain.
Bima tersenyum. Lalu memberikan uang itu pada kedua anaknya.
"Wah makasih, Pah! Kita sayang Papah," ujar Rain memberikan pelukan pada Bima yang kini tersenyum lebar.
Bulan terdiam menatap miris ke arah kakak dan ayahnya.
"Kalau begitu kita pergi dulu, Pah. Bye!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Novela JuvenilTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...