Part 7 Hukuman Manis

19 5 0
                                    

Happy Reading 🙂

Napas Bulan memburu. Keringat mulai menetes membasahi tubuhnya. Wajah gadis itu sudah memerah. Namun, gadis itu tidak menyerah. Ya, hari ini ia harus berjalan kaki menuju sekolahnya.

Ayahnya tak pernah sudi memberikan uang untuknya. Karena menurutnya itu tidak berguna. Namun, berbeda dengan orang lain, dengan mudahnya sang ayah memberikan apa yang mereka mau.

Bima terlalu haus dengan pujian dari orang lain. Tak pernah puas mendapatkan nilai baik. Tanpa mempedulikan orang lain yang hanya ingin memanfaatkan kebaikannya saja.

"Bulan!"

Bulan menoleh. Gadis itu mengerutkan dahinya kala melihat Atlantik yang kini menuju ke arahnya dengan menaiki motor kesayangan. Ada yang aneh, ia tidak melihat sosok Lica yang biasanya menempel bak lintah di dekat kekasihnya itu.

Atlantik menghentikan motornya di dekat Bulan. Lelaki itu melepas helmnya. Lalu, turun menghampiri kekasihnya.

"Kamu ngapain jalan kaki, gitu? Entar sakit lagi gimana? Sampai keringatan kayak gini." Tangan lelaki itu terulur menyerka bulir-bulir keringat di kening Bulan.

"Ayah kamu nggak kasih uang lagi sama kamu?" tanya Atlantik tepat sasaran.

Bulan mengangguk lemah.

"Aku nggak habis pikir sama ayah kamu itu. Kamu kenapa nggak bilang aja sama aku? Entar aku jemput kamu," ujar Atlantik.

"Kamu, kan anterin Lica," sindir Bulan membuat Atlantik terdiam seketika.

"Aku bisa jemput kamu setelah anter Lica," jawabnya dengan nada lembut.

Bulan mendengkus mendengarnya. "Yang ada kesiangan. Lagian aku udah nggak mau jadi yang kedua terus."

Mood Bulan hilang total ketika Lica ada dalam pembahasan mereka. Tak ingin kembali berdebat, gadis itu memutuskan untuk melanjutkan jalannya kembali.

Namun, Atlantik dengan cepat mencekal tangan Bulan.

"Main tinggalin aja. Nggak baik tahu. Kamu bareng aku aja ke sekolahnya. Lebih cepat. Daripada jalan kaki berkilo-kilo meter panas," bujuk Atlantik.

"Lica aja kamu anterin. Aku bisa jalan sendiri," tolak Bulan.

"Entar aku diturunin di tengah jalan. Gara-gara Lica tiba-tiba minta jemput," lanjutnya dengan sarkas.

"Kamu ini kenapa, sih, Bulan? Itu kejadian lama nggak usah kamu ungkit-ungkit lagi. Sekarang jangan tolak kebaikan orang lain. Orang lain belum tentu seperti aku," ujarnya menarik tangan Bulan menuju motornya.

"Lalu, Lica?" tanya Bulan.

"Dia lagi sakit. Makanya sekarang aku ada waktu buat jemput kamu. Tapi, ternyata kamu udah pergi duluan," ujarnya sebelum memasangkan helm berwarna merah muda ke kepala Bulan.

"Kenapa helmnya warna pink, sih? Kamu tahu, kan kalau aku nggak suka sama warna itu," gerutu Bulan.

"Udah terima aja. Itu punya Lica. Aku nggak mungkin beli lagi helm cuma karena kamu nggak suka," ujarnya membuat Bulan terdiam.

Karena aku tahu aku nggak sepenting itu di hidup kamu, batin Bulan tersenyum pahit.

"Pegangan. Aku mau ngebut," perintah Bulan.

"Jangan peluk perut aku. Pegang hoodie aku aja," ujar Atlantik ketika Bulan melingkar kedua tangannya di perutnya.

"Lica selalu peluk perut kamu. Kok, aku nggak boleh?" tanya Bulan merasa tersinggung.

"Karena kalian berbeda," jawab Atlantik.

Bulan ingin menjawab. Namun, Atlantik sudah menjalankan motornya dengan kecepatan rata-rata. Tidak membiarkan Bulan untuk menjawab perkataannya yang bisa saja menimbulkan perdebatan.

Benua Atlantik (True Story) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang