Happy Reading 🙂
Bulan membuka matanya. Gadis itu mengerjap pelan .
"Atla?"
"Di sini nggak ada Atla. Yang ada gue." Seseorang—yang tak lain Bintang datang membawa air putih ke hadapan Bulan.
"Nih, minum." Bintang menyodorkan gelas itu yang langsung diminum Bulan sampai tandas.
"Bukannya tadi At—"
"Atla maksud lo?" Bulan mengangguk. "Di mana dia?" tanyanya dengan kening berkerut.
"Dia nggak ada di sini, Bulan," jawab Bintang dengan kesal.
"Lo pasti bohong. Dia pasti lagi ke toilet, kan?" tanya Bulan berusaha untuk berpikir positif.
Mana mungkin, kan Atla meninggalkan saat pingsan tadi?
"Lo nggak percaya sama gue?"
"Bukan gitu, tapi—"
Bintang mendengkus. Sebelum berkata, "Bulan denger, ya. Mungkin saat ini cowok yang lo maksud tengah berduaan sama cewek yang katanya adik tirinya," jelas Bintang sambil menggerakkan jarinya membentuk tanda kutip.
"Nggak mungkin." Bulan menggelengkan kepalanya masih tidak percaya.
"Lica tadi pura-pura pingsan. And, ya Atla dengan panik bawa dia ke UKS. Dan ninggalin lo sendirian di lapangan. Jelas kalau posisi Lica itu lebih penting daripada lo!" jelasnya sambil melipat tangan di dada.
"Gue udah bujuk dia buat bawa lo dulu. Lica sama gue aja. Tapi, dia nggak mau. Dia tetep kukuh pengen bawa Lica. Dan membiarkan lo dibawa orang lain." Bulan mengerjap. Matanya terlihat berkaca-kaca.
"Mau sampai kapan Bulan? Lo biarin cowok itu nyakitin lo? Berhenti Bulan. Sebelum dia kasih luka yang lebih dalam ke lo!" hardiknya dengan berapi-api.
"Tapi gue sayang sama dia, Bintang. Lo nggak akan ngerti," balas Bulan menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Di bagian mana yang nggak gue ngerti? Gue ngelakuin ini semua demi lo Bulan! Gue nggak mau lihat lo sedih melulu gara-gara dia!" bentaknya dengan kasar.
"Sayang lo itu percuma nggak akan bikin Atla memilih lo. Jelas-jelas posisi lo jadi orang kedua setelah Lica. Pikir Bulan pikir!" lanjutnya membuat Bulan terdiam sejenak.
"Nggak mau minum obat, Atla. Itu pait."
Suara kedua orang yang tengah berdebat membuat Bintang dan Bulan langsung menoleh ke tirai sebelahnya.
"Minum, ya. Biar cepet sembuh."
Bulan mengerjapkan matanya kala mendengar suara lembut milik Atla saat membujuk Lica. Berbeda saat dirinya sakit. Atla begitu kasar.
"Nggak mau. Pahit!" teriak Lica bersikeras.
"Kakak akan kasih yang kamu minta asal kamu minum obat, oke?"
"Beneran?"
"Iya, Sayang."
"Sa-sayang?" gumam Bulan tak percaya.
"See? Lo bisa lihat sendiri, kan?" tanya Bintang tersenyum sinis. "Gue rasa hubungan mereka bukan sebatas kakak adik. Lo aja sebagai pacarnya nggak pernah disebut sayang, kan?" bisik Bintang.
Bulan terdiam membenarkan ucapan Bintang. Tangan gadis itu terulur membuka tirai di depannya sedikit mengintip Lica dan Atlantik yang kini membelakanginya.
Hati Bulan mencelos ketika melihat Atlantik yang mengusap rambut Lica dengan lembut. Keduanya terlihat tertawa.
Mereka terlihat ... mesra. Tidak seperti hubungan kakak dan adik di matanya. Apakah mereka benar-benar— Bulan menggelengkan kepalanya itu tidak mungkin! Ia berusaha untuk berpikir positif.
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Novela JuvenilTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...