Happy Reading 🙂
Bulan tersenyum lebar. Awalnya ia merasa kesal pada Atlantik yang telah membuat keduanya harus dihukum. Namun, melihat perhatian dari lelaki itu membuat Bulan merasa hukuman manis itu tidak ingin cepat berakhir. Ia masih ingin merasakan kebersamannya dengan sang kekasih.
Berdiri di tengah terik matahari yang panas tak membuat Bulan merasa kepanasan. Karena bersama Atlantik semuanya terasa hangat. Apalagi kini keduanya tengah menikmati alunan lagu di IPod milik Atlantik.
Bulan membalas senyuman yang dilayangkan oleh kekasihnya itu. Hati gadis itu terasa berbunga-bunga.
Bulan harap, hubungan mereka tetap seperti ini. Penuh kehangatan, saling memahami, dan saling menguatkan ketika salah satu dari mereka merasa terpuruk.
Namun, sepertinya semesta tidak berpihak padanya.
"Lica?" Atlantik melepaskan headset di telinganya. Lelaki itu mengerutkan dahinya melihat adik tirinya datang dengan wajah pucat pasi diikuti oleh sang ayah—Atlantis.
"Papah?"
"Lain kali jangan tinggalin adik kamu, oke? Kamu sebagai kakak harus selalu ada buat dia," ujarnya dengan tegas. Tangan lelaki paruh baya itu menepuk pundak anak sulungnya. Lalu, tatapan Atlantis terarah pada Bulan.
"Jangan sampai kamu nyakitin adik kamu, Atla," perintahnya dengan tatapan menuntut kepada anak sulungnya. "Atau semua fasilitas kamu Papah ambil. Inget itu. Papah pergi dulu," lanjutnya sebelum meninggalkan Atlantik.
"Lica kenapa sekolah? Kamu, kan lagi sakit. Aku anter pulang, ya. Muka kamu pucat sekali." Wajah Atlantik terlihat khawatir.
"Nggak mau. Maunya sama Kakak. Di rumah sepi nggak ada siapa-siapa," ujarnya dengan nada lirih.
"Tapi kamu lagi sakit. Tubuh kamu panas banget," ujar Atlantik. Tangan lelaki itu terulur mengusap keringat di kening adiknya.
"Pokoknya Lica nggak mau balik," ujarnya dengan kukuh.
"Ya, sudah kalau begitu, Kakak anter ke UKS aja, ya?" putus Atlantik.
Lica terdiam beberapa saat. Matanya tertuju pada sosok Bulan yang terlihat enggan menatap ke arahnya. Bulan terlihat menyumbat kedua telinganya dengan sebuah headset.
Tanpa sadar Lica tersenyum samar. "Nggak. Mau di sini aja temenin Kakak dihukum. Nanti, Kakak dimarahin kalau anter aku. Kakak, kan lagi dihukum. Boleh, ya?" ujar Lica dengan tatapan memelas.
Atlantik menghela napasnya kasar. Sebelum akhirnya menganggukkan kepalanya pasrah.
"Tapi janji, ya kalau udah nggak kuat bilang sama Kakak, oke?" Lica mengangguk semangat. Tatapan matanya melirik ke arah Bulan yang mendengkus tidak suka.
Bulan tersentak kala Lica menabrak bahunya dengan keras. Gadis itu meringis. Ia menatap tajam ke arah Lica yang terlihat menatapnya tanpa rasa bersalah sedikitpun.
"Ups! Nggak sengaja. Nggak liat soalnya," ujar Lica santai.
Gadis itu menatap Bulan dengan mencemooh. Tangan gadis itu melingkar erat di lengan Atlantik. Seakan menunjukan bahwa dia pemilik lelaki itu bukan dirinya.
Bulan hanya bisa mengepalkan tangannya. Gadis itu lebih memilih untuk memalingkan wajahnya sambil mengeraskan suara musik agar tidak melihat dan mendengar orang yang kini sedang bermesraan di depannya.
"Eh, pinjem IPod, lo dong Bulan. Boleh, ya?" Bulan menatap kesal ke arah Lica yang telah mengganggu aktivitasnya.
"Nggak." Dengan ketus Bulan menjawab.
"Dasar pelit! Itu, kan punya Kak Atla bukan punya lo!" protes Lica melotot ke arah Bulan yang terlihat tak mengindahkan protesan darinya.
"Kak—"
"Tukang ngadu!" ujar Bulan memotong ucapan Lica.
"Apa lo, bilang?!" Lica menatap Bulan tak terima.
"Lo berani bilang gitu sama gue? Lo takut kalau Kak Atla lebih memilih gue daripada lo?" semburnya.
"Cih, percaya diri sekali," cibir Bulan berdecih sinis.
"Udah-udah! Kalian jangan bertengkar. Bulan lebih baik ngalah aja, ya. Jangan memperumit!" lerai Atlantik.
Bulan menatap tak percaya kepada kekasihnya, sedangkan Lica terlihat tersenyum puas penuh kemenangan.
Dengan kasar gadis itu melemparkan IPod itu ke arah Lica hampir saja mengenai wajah gadis itu jika saja Atlantik tak segera menangkapnya.
"Bulan!"
"Apa? Mau marah sama aku? Silakan!" Bulan menatap Atlantik dengan tatapan menantang. Ia sudah tidak peduli dengan siapa yang ia bicara. Hatinya terlanjur sakit hati dengan tingkah laku kekasihnya itu.
Atlantik mendengkus. Lelaki itu lebih memilih untuk memasangkan headset itu ke telinga Lica dan ke telinganya berusaha untuk menstabilkan emosinya akibat ulah Bulan.
Bugh!
Tiba-tiba dari arah depan sebuah bola melayang ke arah Bulan tepat pada kepala gadis itu.
"Bulan!" Mata Bulan berkunang-kunang. Gadis itu menegang kepalanya yang berdenyut nyeri. Hingga, kesadarannya sedikit demi sedikit mulai menghilang. Gadis itu masih bisa mendengar Atlantik yang berteriak memanggil namanya.
Atlantik mendekati Bulan dengan panik. Lelaki itu mengguncang tubuh kekasihnya dalam pangkuannya. Namun, sepertinya harus itu pingsan.
"Baru kena bola aja udah pingsan kayak gitu. Lemah banget, udah, Kak biar orang lain aja yang gendong dia ke UKS. Dia pasti pura-pura biar dapat perhatian dari Kakak," ujar Lica mendengkus sebal.
"Kak!" Lica menarik kasar baju Atlantik. Namun, sepertinya nihil. Atlantik tidak merespon sama sekali.
Tidak ada cara lain, selain menjatuhkan tubuhnya di hadapan Atlantik, berpura-pura pingsan.
"Lica!" teriak Atlantik ketika melihat adiknya yang pingsan.
Tanpa sadar lelaki itu menjauhkan tubuhnya dari Bulan. Lalu, mulai mendekati adiknya.
"Lica, bangun!" Atlantik menepuk-nepuk kedua pipi Lica pelan. Namun, gadis itu tidak merespon. Wajah lelaki itu terlihat khawatir ketika merasakan tubuh Lica yang panas.
Tanpa berkata lagi, Atlantik langsung menggendong tubuh adiknya. Wajahnya terlihat panik beberapa kali lelaki itu bergumam sesuatu.
"Lo tega ya, ninggalin Bulan sendirian dengan keadaan pingsan? Otak lo disimpan di mana, sih?!" Seruan keras di belakang Atlantik membuat lelaki itu menoleh ke belakang.
Lelaki itu bisa melihat tatapan Bintang—sahabat Bulan yang menatapnya berapi-api.
"Bisa lo panggil orang lain buat bawa dia ke UKS? Gue nggak bisa bantu. Lica harus segera ke UKS. Demamnya tinggi," ujar Atlantik dengan terburu-buru.
"Lo nggak niat bantu begitu?" tanya Bintang dengan tatapan tajam. "Buka mata lo, Atla! Gadis di gendongan lo cuma pura-pura pingsan buat narik perhatian lo, bodoh!" hardik Bintang. Gadis tomboi itu sempat melihat mata Lica yang berkedip dan tersenyum miring tadi.
"Nggak ada waktu buat debat, Bintang. Bisa ngerti? Lagian mana mungkin Lica pura-pura pingsan. Dia demam!" teriaknya dengan nada marah.
Bintang ingin membalas. Namun, Atlantik buru-buru tanpa rasa bersalah meninggalkan gadis itu yang menggeram marah, tetapi pada akhirnya Bintang meminta tolong orang lain untuk membantu Bulan menuju UKS.
"Lo mungkin sayang sama Atlantik. Tapi, perlu lo ketahui Bulan, lo bukan prioritas utama dia. Tapi, Lica. Gue nggak mau lihat lo terus menderita," bisik Bintang tersenyum miris.
TBC.
Minggu, 13 Maret 2022
KAMU SEDANG MEMBACA
Benua Atlantik (True Story)
Teen FictionTentang Sebuah luka yang melupakan senyumnya. "Aku pengen hidup tenang, Pah!" "Kamu mau hidup tenang?" tanya Bima-sang ayah yang dibalas anggukan oleh Bulan dengan mata berbinar penuh harap. "Mati aja. Dijamin hidupmu tenang." Tentang lukisan y...