Bab 7

411 190 592
                                    

Hai, bagaimana hari ini?

Selalu tersenyum dan bersyukur, ya

Vote dan komenmu, semangatku 🔥

Jangan skip narasi!!

•●•


Tiga hari mereka telah mengikuti kegiatan Masa Orientasi Sekolah. Para siswa maupun siswi amat antusias untuk menempuh pendidikan jenjang SMA di sekolah Sanjaya. Tiga tahun ke depan bukanlah waktu yang lama, mereka harus bisa menggunakan waktu itu sebaik mungkin agar dapat mengukir kenangan yang banyak bersama satu angkatan.

Di depan mading sekolah terlihat ada beberapa anak didik yang berdesakkan upaya melihat isi di dalam informasi tersebut. Para murid itu ingin mengetahui lebih lanjut mengenai letak kelas yang akan mereka tempati serta mencari tahu dengan siapa mereka akan di ajar. Tidak hanya itu, mereka juga menelisik keseluruhan dari atas hingga bawah nama yang tercantum. Menelisik lamat-lamat dengan siapa mereka akan menjadi teman sekelas.

Binar bahagia tersorot sangat jelas di iris mata. Eza meloncat kegirangan setelah tau namanya berada di dalam kelas yang sama dengan kedua temannya semasa di bangku SMP. Lelaki itu bolak-balik memastikan apakah benar namanya berada di dalam kertas yang sama dengan kedua temannya? Ternyata setelah melihat kembali, hasilnya memang tidak berubah. Eza Anggara-- lelaki yang sempat terlonjak bahagia mendapatkan di kelas 10 IPA 2.

Sementara satu laki-laki hanya berdiri kukuh di belakang sana, jauh dari kerumunan orang-orang. Dia tidak berniat sama sekali untuk mendekati mading guna melihat secara jelas nama dirinya diletakkan di kelas apa. Alih-alih menghampiri, lelaki muda itu hanya diam menunggu kedatangan Eza yang telah membawa informasi.

"Coba tebak Dev, kita sekelas apa nggak?"

"Nggak! Ogah gue sekelas sama lo!"

Devanio Reynand-- kerap disapa dengan panggilan Devan. Pemilik wajah lembut tapi tidak menghilangkan ketegasannya pada bagian rahang. Tubuhnya yang lumayan proporsional untuk ukuran anak remaja usia tujuh belas tahun. Iris mata hitam pekat serta tajam menjadi daya tariknya sendiri. Tidak hanya itu, Devan sama sekali tak minat untuk berbicara banyak. Namun, sekalinya angkat suara, Devan tidak tanggung-tanggung memberikan kalimat pedih untuk sang lawannya.

Seperti baru saja yang terjadi, Devan mengatakan hal itu kepada Eza seolah sangat tidak ingin bilamana ia satu kelas dengan sohib lamanya. Padahal, Eza sudah begitu antusias, sayangnya Devan tidak menanggapi yang serupa.

"Gue sekelas sama lo, Dev, sama Ragel juga." Manik mata Eza tidak luntur menyiratkan kebahagiaan.

"Terus?"

Mendengar satu kata yang amat singkat membuat Eza berdecak keras. Dia merasa Devan seperti tidak peduli akan sebuah informasi ini. Meskipun perihal sederhana yakni letak kelas, tidak dapat dipungkiri betapa kesalnya Eza saat ini.

"Ya elah seneng dikit, kek. Hargain perasaan gue yang seneng bisa sekelas sama lo-lo pada," cerocos Eza seolah mendaramatis ucapannya barusan.

Sejak menempuh di sekolah menengah pertama, ketiganya memang menjalin hubungan sebagai sahabat. Tapi, yang lebih dulu adalah Ragel dan Devan. Lambat laun, tahun berganti, mereka pun harus naik ke kelas sembilan, disana-lah keduanya bertemu dengan sosok Eza, sebab peraturan sekolah yang mengharuskan merolling tiap-tiap kelas.

Eza Anggara, tubuhnya lebih pendek dibanding dua kawannya. Tingkah lakunya yang random membuat siapapun yang berada di dekatnya tertawa. Dapat mencairkan suasana atas sikapnya yang begitu humoris, dan banyak bicara. Entah mengapa, dibalik sikap menyenangkan yang Eza punya justru harus berdampingan dengan dua orang layaknya kutub Utara. Sayangnya, lelaki ini sangat suka mendekati perempuan. Siapa yang dirasa cocok dengannya, dia langsung menjadikan sosok wanita itu sebagai kekasih.

RAGELEATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang