VII. First day at UA

139 35 10
                                    

Gerbang itu tidak berubah sejak ia terakhir kali melihatnya. Para remaja berjas abu-abu dan berbagai macam wujud melewati gerbang dan menuju sekolah megah di dalamnya.

Izuku memakai jas yang sama, dengan sepatu bot merah dan tas punggung hitam. Choker hitam satu inchi setia terpasang melingkari lehernya. Masih ada 15 menit sampai bel berbunyi, jadi ia berjalan santai ke lorong gedung, mencari ruang kelasnya. Ia sudah mencari itu, sebenarnya. Hanya saja, terkadang ia tersesat meski sudah mendapat denahnya. Salah satu kelemahan yang harus ia atasi secepat mungkin sebagai informan.

Jaket milik Shinsou sudah ia cuci dan tersimpan di dalam sebuah tas kertas. Akan ia berikan nanti ketika istirahat atau nanti sekalian saja di kelas.

Terlarut dalam pikirannya, Izuku tidak menyadari kalau dia sudah berada di depan pintu 1A UA. Mendongak, ia tidak bertanya-tanya mengapa tinggi pintu di sini kurang lebih 3 meter. Di dunia ini, tinggi 2 meter masih termasuk biasa karena banyaknya quirk mutasi.

Meski begitu, quirk mutasi semakin berkurang. Masih banyak, tetapi tidak sebanyak dulu. Manusia bisa memiliki kemampuan seperti hewan tanpa memiliki karakteristik hewan itu. Hal itulah yang menyebabkan meningkatnya variasi quirk. Persilangan antar quirk menghasilkan quirk baru, yang dari generasi ke generasi semakin kompleks.

Di masa lalu, ketika sesuatu bernama quirk masih merupakan suatu hal yang layak disebut 'quirk' (keanehan, keunikan), orang-orang yang memiliki quirk justru akan dihina, disebut aneh, disebut dukun, paranormal, atau apapun. Masyarakat masih mengandalkan ilmu pengetahuan dan sains untuk mencapai suatu tujuan. Mengalami trial and error. Sekarang, orang-orang sepertinya-lah yang disebut aneh. Orang-orang yang tidak memiliki quirk, yang tidak memiliki apapun untuk mempertahankan diri kecuali dengan otak dan usaha mereka.

Izuku adalah salah satu bukti peninggalan masa lalu. Bukti keberadaan para ahli sains dan biologi yang melakukan trial and error demi mempertahankan umat manusia. Apa yang dimaksud dengan itu, akan terungkap seiring berjalannya waktu.

Izuku keluar dari pikirannya, melangkah masuk ketika mendengar teriakan yang familiar dari dalam ruang kelas.

Seperti yang dia duga, Katsuki berteriak marah pada seorang anak laki-laki. Oh, Iida. Setahunya dia adalah seorang anak yang sangat kaku dan sangat menjunjung tinggi aturan. Sebagai anak yang seenaknya sendiri, tentu Katsuki akan menjadi sasaran omelannya.

"Kau!" Tatapan Iida beralih ke arahnya.

Izuku bergumam, menatap pada anak laki-laki yang lebih tinggi darinya. Punggung Iida lurus, terlalu lurus, seolah sebuah tiang dipaksakan masuk ke tubuhnya.

"Namaku Iida Tenya, dari Soumei! Kau anak yang mengalahkan zero point itu kan?" tanya Iida. Gerakannya kaku seperti robot.

"Ya..." gumam Izuku. Tiba-tiba malas meladeni anak di depannya. Apakah dia tidak bisa dibiarkan duduk dulu?

"Apakah kau menyadari inti ujian itu? Tentang poin penyelamatan?"

Izuku memiringkan kepala dengan ekspresi bingung, meski sebenarnya dia geli dengan pertanyaan itu.

"Apa tujuanmu menjadi Hero? Menghancurkan musuh?" tanyanya. Bukan nada yang sarkastis, tapi di telinga beberapa orang, itu terdengar sarkas.

Katsuki hampir meledak mendengar suara itu.

Tepat saat itu, bel masuk berdering dan Izuku melihat sebuah... Kepompong? Ulat? Berwarna kuning di depan papan tulis, tepat di bawah meja guru.

Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, Izuku berjalan ke satu-satunya kursi kosong di belakang Katsuki. Dia sempat melihat Shinsou dan melambai kecil pada pemuda itu.

Share, Tell Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang