XI. Plan

107 34 3
                                    

Hampir pukul tiga pagi, Izuku sampai di apartemennya. Himiko tidak mau melepaskannya karena perasaannya sangat buruk. Izuku tahu insting gadis itu sering kali benar. Jadi Izuku membuat dirinya berjanji tentang sesuatu yang dia sendiri juga tidak tahu apakah bisa dia penuhi atau tidak. Namun, persiapan bisa dilakukan.

Oleh karena itu, kini Izuku memutuskan untuk mempercepat rencananya.

.

Flash back

"Izuu."

Himiko merengek, masih menindih Izuku di lantai gudang, tidak ingin pemuda yang dicintainya pergi malam ini. Gadis itu mengubur wajah di dada Izuku. Sedangkan Izuku terbaring telentang dengan pasrah menatap langit-langit gudang.

Izuku menghela napas, ini tidak sekali dua kali terjadi. Apalagi dengan kenyataan mereka tidak bisa bertemu selama tiga bulan. Gadis ini akan memeluknya seperti koala sampai dia puas.

Masalahnya, ini sudah satu jam dan Himiko masih tidak mau melepaskannya. Meminta tolong pada Jin juga tidak akan berguna. Pria itu hanya akan menatap geli pada kejadian di depannya. Dasar anak muda, mungkin itu yang ada di pikirannya.

"Hime," Izuku memanggil. Tidak peduli Himiko sama sekali tidak mencerminkan seorang 'hime' (putri). Yang dia inginkan hanya melepas seekor koala yang menempel di tubuhnya. Terkadang Izuku merindukan Himiko yang dulu. Lebih mudah untuk dihadapi. Cukup menghindari lemparan pisaunya saja. Itu jauh lebih mudah daripada menghadapi pelukan koala seperti ini.

Himiko mendongak untuk menatap si greenete, masih cemberut.

Lagi, Izuku menghela napas. Ayolah, ini baru dua setengah jam berganti hari, dan dia sudah menghela napas. Katanya menghela napas itu mengurangi kebutuntungan? Sudah berapa kali keberuntungannya berkurang hari ini?

"Duduklah dulu, aku janji tidak akan kabur," kata Izuku. Himiko menurut kali ini. Dia beringsut duduk dengan kedua kaki di samping tubuhnya. Sedangkan Izuku bangkit dan duduk bersila. "Apa firasatmu?"

"Aku merasa kau akan pergi dan akan sangat sulit bagiku untuk bertemu denganmu lagi," jawab Himiko. Masih cemberut dan tidak mau menatap Izuku.

"Memangnya berapa lama dia akan pergi? Izu selalu berhasil kabur dengan berbagai cara di luar nalarnya," tanya Jin.

"... Tidak tahu. Lagipula, rencana Izu tidak hanya di luar nalar, tapi juga di luar keamanan!" Himiko membantah.

Izuku tertawa pada argumen itu. Dia beringsut maju, memakai kedua telapak tangan yang dia tempelkan pada pipi Himiko, membuat wajah gadis itu tertekan dengan aneh. Mata kuning seperti kucing bertemu dengan mata sehijau hutan.

"Dengar, Himiko. Aku percaya pada perasaanmu. Namun, aku akan berusaha untuk menghindar. Jika aku tidak berhasil menghindar, maka aku akan menghadapinya," tegas Izuku.

Iris kuning Himiko menyipit, "Kau bohong. Tidak ada di pikiranmu untuk menghindarinya."

"... Kau ini memiliki quirk untuk membaca pikiran?"

"Izuuu!"

Pemuda itu tersenyum, bukan senyum mengejek atau palsu yang biasa ia tunjukkan. Ini adalah senyum tulus dari hati. "Menenggelamkan diri ke dalam bahaya adalah pekerjaanku, Himiko. Aku yakin kau tahu itu," sahut Izuku, sedikit geli dengan pemikiran yang benar itu.

Share, Tell Me!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang