06. Kemanusiaan

2 0 0
                                    


- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -


Di sisi lain, di waktu yang sama setelah Tamara pergi dari café.

“Gala gimana rasanya? Setelah lo mempermalukan dan merendahkan perempuan tadi di hadapan banyak orang,” tanya Kea, gadis yang sedari tadi mencoba menghentikan Gala dengan tegas.

“Gue ngasi tau apa yang bener menurut-“

“Jadi cuma karena menurut lo itu bener, lo bisa bebas malu-maluin seseorang di depan banyak orang? Lo bahkan bisa bebas merendahkan semua perempuan di dunia ini? Iya gitu?” tanya nya lagi dengan tegas.

“Gue ngomong berdasarkan sikap-“

“Oh ya? Kalo gitu berarti perempuan tadi juga bener, orang yang parasnya bagus sekalipun, belum tentu punya hati sebagus parasnya,” balas Kea yang kini beranjak.

Gadis itu mengambil tasnya dan mengemasi barang-barangnya. “Gue duluan.”

“Loh kenapa? Kea kita baru pada dateng loh,” sahut Rama dengan lengannya yang menarik tangan Kea.

“Males gue, ngeliat muka orang yang ga punya hati! Ga punya rasa kemanusiaan! Orang yang selalu mengganggap benar apa yang menurut dia benar,” balas Kea lagi melepaskan lengannya dari Rama dan berjalan pergi. Keluar café meninggalkan semuanya.

Sementara itu di sisi lain ada yang menghela nafas berat, sampai tak lama setelahnya Gala pun ikut beranjak. “Gue balik,” sahutnya yang kemudian berjalan keluar.

Menghidrup udara malam yang cukup dingin, Gala meninggalkan motornya yang ada di parkiran café lalu berjalan santai. Tidak terlalu jauh, ia hanya berjalan di sekitaran café untuk mencari udara segar. Otaknya kini terus berputar, tanpa henti memikirkan kalimat yang keluar dari mulut Kea tadi.

Sampai akhirnya kini, entah bagaimana Gala merasa sedikit bersalah atas sikapnya tadi yang ternyata sangat kasar. Menendangi satu persatu batu yang ada di depan kakinya dengan perasaan menyesal. Gala sampai pada titik dimana ia dengan tiba-tiba saja menghentikan langkahnya.

Menoleh ke kiri dan kanan untuk memastikan, apa yang didengarnya kini memang suara tangisan?

Mendekati sumber suara, Gala kemudian menatapnya dari titik ia berdiri.  Memperhatikan Gadis yang tadi memberi coklat padanya, kini tengah menangis sendirian, di tengah keremaian.

“Sekejam itu?” gumamnya pada diri sendiri dengan keningnya yang berekrut.

Tanpa sadar Gala terus menerus memperhatikan gadis yang masih terlarut dalam isak tangisnya, dengan kedua lengan yang melipat di depan dada.

“Emang sekejam itu,” sahut Rama tiba-tiba yang tentunya membuat Gala terkejut.

“Lo ngapain lagi tiba-tiba disini?”

“Ya suka-suka gue, lagian, gue juga penasaran sama korban lo itu,” sahut Rama cepat sembari menunjuk Tamara dengan sebelah alisnya.

“Lo ngomong bisa dijaga ga? Gue ga ngapa-ngapain dia.”

“Itu buktinya, anaknya nangis.”

Terdiam, kini Gala kembali memperhatikan gadis yang masih menangis sendirian, dengan kalimat Kea yang tak berhenti berputar di kepalanya.

“Lo bayangin, perempuan secara batin emang lebih lemah dari laki-laki, dan ini kasusnya bukan cuma lo katain hadap-hadapan, lo ngatain dia di depan banyak orang La, bisa lo pikirin semalu dan sesakit apa hatinya?”

"...."

Tidak ada jawaban, Gala hanya bernafas dan tanpa henti memfokuskan matanya pada Tamara. Memang terlihat menyebalkan, namun Rama tau, jika sang sahabat tengah mendengarnya.

“Dan asal lo tau, dia anak kampus kita, yang artinya lo baru aja nunjukin sisi ngeri lo sebagai ketua BEM ke dia.”

Masih terdiam, namun sungguh, Gala memang mendengarkan seluruh kalimat yang keluar dari mulut Rama. Ia tau dan ia sadar, karena menurutnya wajah Tamara memang tidak asing.

“La,” sahut Rama tiba-tiba sambil mendaratkan tangannya di bahu Gala.

“Entah ini bener atau engga, menurut gue alesan lo sampe ngasih semua kalimat tadi, itu bukan cuma sekedar karena coklat?”

Berbalik, kini Gala menatap Rama lawan bicaranya.

“Sial, gue bener ternyata,” sahut Rama yang kini tertawa kecil dengan nada kecewa yang terselip.

“Ga seharusnya lo numpahin semuanya ke dia, lo udah dewasa dan seharusnya lo bisa mikir!”

“Gue tau Rama,” tegas Gala cepat.

“Lo tau? Tapi dengan sadar lo lakuin yang tadi?” tidak ada jawaban karena Gala memang tidak tahu harus menjawab apa, semua yang dikatakan Rama memang benar adanya.

“Kecewa gue sama lo.”

“Dia duplikatnya, dan gue ga tahan liat perempuan tadi dengan kelakuannya yang sembrono pake tubuh Amara.”

“Goblok lo Gala! Siapa yang lo bilang pake badan Amara si Goblok!”

“Terserah lo mau ngomong apa.”

“Tolol! Dia bukan Amara! Dan apa yang ada di perempuan tadi bukan milik Amara! Jujur, mungkin emang style mereka sama, tapi cuma itu, ga ada lagi.”

“Amara ga akan ngelakuin hal serendah tadi di depan laki-laki-“

“Tapi dia bukan Amara, dia perempuan yang kebetulan mirip cewek lo yang udah dipanggil tuhan, dan kemudian tanpa sengaja sekarang tuhan mempertemukan lo sama dia,” sahut Rama dengan kesabarannya yang sudah habis.

“Jadi apa yang mau lo sampein ke gue?” Gala mengerutkan keningnya.

“Minta maaf.”

“Ke perempuan tadi?”

“Lo pikir ke gue?”

Lagi-lagi terdiam, Gala kembali melihat gadis yang kini tak lagi sendirian. Ada seorang lelaki yang entah siapa Gala tidak familiar dengan wajahnya, namun berhasil mengembalikan senyuman yang tadinya Gala renggut.

“Amara mungkin pendiem, dia anggun, dan pemalu, tapi ga semua perempuan di dunia ini punya sifat kaya Amara,” sahut Rama lagi sembari menepuk bahu Gala lalu pergi, masuk ke dalam café untuk meanjutkan acara yang hampir batal.

Menghela nafas, kini rasanya dada Gala jauh lebih sesak dari sebelumnya. Dua orang yang memberikan kalimat itu berhasil menghancurkan pertahannya, sampai lekaki itu kini memiliki niat dalam hatinya untuk meminta maaf.

- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Our secret Marriage  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang