07. Kabar untuk Tamara

1 1 0
                                    


- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Empat hari berlalu sejak kejadian Gala dan Tamara di café saat malam reuni. Kini Tamara menyatakan pada dirinya sendiri bahwa ai sudah tidak lagi menyukai Gala, lelaki bermulut ringan, kasar dan tidak bisa memikirkan perasaan orang lain.

Keputusannya sudah bulat, dan dengan pendiriannya Tamara menguatkan diri untuk sebisa mungkin terus membenci Gala Wardhana.

Hal anehnya adalah, Tamara merasa jika akhir-akhir ini ia terus menerus bertemu dengan Gala. Entah tidak sengaja melihat, tanpa sengaja berpas-pasan atau ketika makan siang di kantin. Padahal dulu waktu masih mentukainya, ia tidak bisa dengan mudah menemukan ketua BEM yang statusnya sibuk itu.

Tak goyah, Tamara tidak ingin pertahaannya hancur atau apapun, ia sungguh masih menganggp kejadian itu mengerikan. Walau kini gadis itu sudah agak melupakannya rasa sakitnya, tapi Tamara tidak akan pernah bisa melupakan, rasa malu yang ia dapatkan.

Jangankan berbicara, menatap mata Gala saja kini gadis itu benar-benar tidak bisa. 10 dari 100 %, Tamara merasa jika itu salahnya, seharusnya dia tetap menolak permintaan Anggi itu. Itulah fungsinya berpikir jangka panjang.

Membuka pintu rumahnya dengan tenaga yang tersisa, wajah Tamara benar-benar tampak lelah dan lusuh. Dengan beberapa buku di pelukannya, ia berjalan ke dalam rumah dengan cepat. Mencari sebuah benda bernama tempat tidur yang ingin ditidurinya.

“Ma, pa Tamara pulang!”

Teriaknya yang tanpa menunggu jawaban langsung berjalan ke kamar. Merebahkan tubuh dengan buku yang kini ia biarkan berserakan di samping tempat tidur.

Menghela nafas, gadis itu menatap satu-persatu stiker bintang yang ia tempelkan di langt-langit.

“Ya allah kuliah cape banget, pengen nikah aja rasanya.”

Sahutnya yang kemudian dengan seluruh kesadarannya bangun lalu masuk ke dalam kamar mandi, yang pintunya tidak jauh dari tempat tidur yang baru saja ia tiduri.

Waktunya makan malam dan tepat di meja makan sudah ada banyak makanan yang tersedia, dua orang atau kedua orang tua Tamara bahkan sudah duduk di meja makan. Menunggu satu-satunya putri mereka yang masih belum menempati kursinya.

Menuruni tangga dengan handuk kecil yang ada di lehernya, Tamara segera duduk dan membalikkan piringnya. Perut yang sedari tadi kosong itu sudah berdemo meminta keadilan.

“Acara nya outdoor aja ma, biar ga gerah,” sahut Ardi, sang papa yang kini tengah menikmati santapan makan malam yang sudah disiapkan Anita sang istri.

“Pa, dalem gedung juga kalo sekarang ada AC, ga akan gerah, papa jangan nora deh,” balas Anita cepat sembari menggeserkan beberapa piring untuk dimakan sang putri.

“Ya udah deh terserah mama, urusan catering gimana?” tanya Ardi lagi masih dengan sendok da garpu yang melekat di jari-jarinya.

“Ada temen mama, katanya dia baru buka, kita bantu promosi juga sekalian,” Anita menjawab dengan lembut.

“Enak ga tuh ma, malu nanti sama tamu kalo ga enak.”

“Ya enak lah papa, ini temen mama lo, jangan di sepelein,” tegas Anita lagi dengan matanya yang terlihat hampir keluar.

“Sovenirnya? Mama juga yang urus?”

“Iya udah sama mama, besan juga bantu ko, sekarang lucu-lucu ga kaya dulu waktu kota nikah pa,” balas Anita kembali pada senyumannya

“Kenapa? mama mau nikah lagi maksudnya?”

Menyimak, Tamara mulai memasuki mulutnya dengan suapan makanan sembari mendengarkan dan mencoba memahami apa yang sedang kedua orang tuanya bicarakan.

“Papa mau mama selingkuhin?” sebuah senyuman dengan cepat terambang di wajah Anita.

“Ya engga lah ma, papa cuma bercanda, kali aja mama mau resepsi ulang pernikahan kita,” balas Ardi cepat.

“Ahaha,” hanya tertawa, Tamara sedikit terhibur oleh percakapan kedua orang tuanya itu.

“Oh iya jangan lupa acaranya 3 bulan lagi pa, kosongin jadwal.”

“Pasti lah ma, ga mungkin papa ga hadir di acara pernikahan anak kita satu-satunya.”

Tercengang, awalnya Tamara mengeluarkan ekspresi bingung dengan wajah tak tahu apa-apa, namun diakhiri dengan tertawa. “Mama sama papa punya anak berapa sih? Siapa yang resepsi nya 3 bulan lagi.”

“Anak papa cuma satu,” Ardi tersenyum.

“Ya iya, makanya jangan aneh-aneh ngomongnya, siapa juga yang mau nikah,” balas Tamara cepat yang juga dengan nada agak ditegaskan.

“Ya kan emang kamu yang mau nikahnya sayang,” Anita mengusap rambut sang putri yang masih agak basah itu perlahan.

Uhuk uhuk

Terkejut, bukan lagi tapi amat sangat terkejut. Masih dengan tatapan matanya yang hampir keluar juga mulut yang dipenuhi makanan, Tamara menatap tajam kedua orang tuanya.

“TAMARA NIKAH 3 BULAN LAGI?! APA-APAAN!”

Tak tertinggal, butiran nasi yang kini berjatuhan dari mulut Tamara tampak seperti meteor.

Dengan kedua lengan yang melipat di depan dada, tak lupa handuk kecil yang masih menggantung di lehernya. Tamara menatap kedua orang tuanya dengan kesal.

“Kenapa ga tanya Tamara dulu mau apa engga?” tanyanya cepat.

“Orang mama sering denger kamu bilang pengen nikah, ya udah mama nikahin aja sekalian,” jawab Anita dengan senyuman.

“Ya tapi kan ga gitu ma maksudnya Tamara.”

“Ga papa sayang, pernikahan itu kalo lebih cepat maka lebih baik,” balas Ardi lagi, mendukung pendapat sang istri.

“Iyakan, kalo jodohnya udah ketemu mah nikahnya bisa kapan aja," Anita kembali memperkuat pendapat.

“Tapi ma Tamara bahkan ga kenal sama dia, Tamara ga tau dia siapa, jadi gimana caranya bisa tau kalo kita itu jodoh,” tanyanya lagi yang kini semakin terlihat penuh emosi.

“Yaa kan, ciri-ciri jodoh itu seluruh keluarga menyetujui hubungan sayang,” Anita kembali tersenyum.

“Mama sama papa setuju tapi Tamara engga! Gimana kalo dia ternyata musuh Tamara?!”

“Ya engga akan lah, orang anaknya baik-baik, berprestasi juga ya kan pa,” dengan sikunya Anita memberi tanda, agar sang suami memberikan ia penguat dukungan.

“Bener kata mama, ya kali kita mau jodohin kamu sama anak berandalan,” Ardi bicara lagi.

“Ya tapi kan Tamara ga kenal dia papa, mama,” balasnya yang kini terduduk di lantai.

“Nanti juga kamu kenal dia ko,” Anisa berucap dengan senyumannya.

“Mama plis deh, sekarang tuh udah bukan zamannya jodoh-jodohan.”

“Udah kamu tenang aja ya, pasti cocok ko, minggu depan kita makan malam sama keluarga mereka.”

“Hah?”

“Nanti papa kasi duit buat beli baju baru ya, terserah deh mau berapa biji asal kamunya seneng,” ucap Ardi sembari menepuk kepala sang putri lalu beranjak, bersama istrinya menuju ke kamar.

Meninggalkan Tamara yang kini masih merasa ingin menangis karena kenyataan mengerikan yang ada di hadapannya.

Mrs. Anjani Jung

ANJA MASA GUE DIJODOHIN
GA MAU BANGETTT


- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Sesungguhnya typo adalah sifat manusia..
Yang mampir jangan lupa absen yaa ^^

Our secret Marriage  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang