11. Kenyataan

1 1 0
                                    


- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -


Duduk, dengan perasaan tegang dan jantung yang berdetak tak karuan, Tamara benar-benar tidak bisa menatap orang yang kini duduk di hadapannya. Gadis itu hanya menunduk, memasukan beberapa makanan ke mulutnya dengan tenang sembari menyimak percakapan dua pasang orang tua yang kini tengah asik berbincang.

“Abang jangan diem aja,” Farah menepuk bahu si sulung, orang yang kalah bising oleh si bungsu yang sedari tadi tak berhenti mengeluarkan kata walau masih terbata-bata.

“Kalian udah saling kenal?” Anita kini juga menyinggung sang putri, sebuah kode untuk ikut berbicara.

“Hm?” Tamara melancarkan senyuman, yang tampak canggung sembari menatap Gala. Dirinya bingung dengan jawaban apa yang harus ia berikan, ia menunggu orang dihadapannya untuk ikut memberi kode.

“Oh Tamara satu kampus ya sama Gala?” Farah kembali bertanya, namun dibalas senyuman kini oleh si gadis.

Mengangguk tersenyum, Tamara kini tengah menunjukan sopan santun yang dengan susah payah diajarkan kedua orang tuanya padanya. “Iya tante, mungkin lebih tepatnya, engga ada yang engga kenal ketua BEM kampus.”

“Ohh, jadi begitu,” Farah mengangguk dengan senyuman, menunjukan rasa senang karena dua orang yang akan dijodohkan ternyata sudah mengetahui satu sama lain.

“Mungkin, bisa dibilang hampir semua mahasiswi yang ada di kampus jatuh jati, kak Gala populer,” balasnya lagi.

“Oh ya? Kamu sendiri gimana? Apa kamu masuk ke salah satu mahasiswa yang jatuh hati ke Gala?” Tama melanjutkan, mengakhirinya dengan wajah penasaran yang mengapung di dua pasang orang tua.

Mengalihkan tatapannya kearah Gala, yang ternyata juga tengah menatapnya. Tamara melayangkan senyuman, tepat kearah Farah yang ada di samping kiri Gala.

“Iya tante, pesona kak Gala, ga main-main…” balasnya menggantung, namun berhasil membuahkan senyuman di wajah dua orang ibu.

“…dan hampir semua orang seperti Tamara, mereka juga suka jiwa kepemimpinan kak Gala, suka melihat kak Gala berpidato bahkan mungkin dosen juga bisa ikut merasakannya,” senyumnya lagi ramah, mengakhiri kalimatnya dengan keambiguan.

“Nak Gala sendiri, menurutmu Tamara itu seperti apa?” Ardi membuka suara, dengan wajah yang tentunya menunggu jawaban.

“Pa, kak Gala mungkin ga kenal sama-“

“Cantik om,” sahut Gala dengan cepat memotong kalimat Tamara, dan membuat gadis itu memusatkan pandangan padanya.

“Kesan pertama Gala untuk Tamara adalah cantik, anggun dan Tamara juga ga kalah mempesona,” sahutnya yang kini tidak menatap Ardi, mengalihkan pandangannya pada gadis yang kini tengah ia deskripsikan.

“Jujur memang Gala baru tau Tamara itu beberapa hari yang lalu, tapi walau beberapa hari, Gala sudah punya gambaran tentang seperti apa Tamara itu sebenarnya,” balasnya lembut.

“Oh ya? Tante juga ikut seneng kalo kamu mikirnya begitu,” Anita memperlihatkan raut wajah bahagianya pada semua orang, ingin memberitahu betapa bahagianya ia mendengar jawaban seorang pemuda tentang putri tunggalnya.

“Tapi maaf tante, Gala mungkin gak bi-“

“Belum bisa sayang, bukan tidak bisa,” balas Anita cepat, memotong kalimat Gala namun masih dengan senyumannya.

“Ma-“

“Tante tau seperti apa perasaan kamu di posisi sekarang ini, kehilangan orang yang penting memang sangat menyakitkan, tapi percayalah, tuhan tau ini yang terbaik untukmu,” dengan mata yang fokus pada Gala, ia tahu bahwa sedikitnya, kalimat yang ia lontarkan menggoyahkan pertahanan Gala.

'Gala baru kehilangan orang? Maksudnya belum move on?' gumam Tamara dalam hatinya.

“Tamara sayang,” Farah berucap, yang dengan cepat membuat Tamara mengalihkan pandangannya dari sang mama.

“Kamu cantik sayang, kamu pintar, kamu juga bisa dengan mudah membuat orang nyaman, tante yakin sekali, yang kamu butuhkan hanya tinggal percaya diri, jangan pernah kamu tinggalkan itu.”

“No no,” sahut Gian tiba-tiba, dengan jari telunjuknya yang bergoyang. Memecahkan suasana tegang yang hampir memuncak.
Lalu mengubahnya, menjadi suasana tawa dengan kekeluargaan.

Berdiam diri di toilet, Tamara masih menatap dirinya sendiri di cermin, memperhatikan satu-persatu seperti apa bentuk wajahnya.

Menghela nafas, gadis itu kemudian memutar keran, sampai tak lama ada air yang timbul.

‘Siapa sangka ternyata Gala, tapi posisinya pasti sama, udahlah Tamara, Gala juga pasti nolak kalo tau cewek nya itu elo!’
gumamnya dalam hati yang dengan cepat menghempaskan tetesan air di tangannya ke udara.

“Denger tadi? Bahkan dia bilang suka pun mustahil, just don’t wish a good thing would hapend Tamara, mencegah lebih baik dari pada mengobati,” gumamnya lagi, memberikan kalimat pada dirinya sendiri untuk menyemangati.

Menghela nafas, gadis itu tampak mencoba mengeluarkan senyuman terbaiknya. “Just smile, you can do it Tamara, you can do it.”

Berjalan keluar, perlahan Tamara membuka pintunya. Dan keluar, dengan matanya yang membulat sempurna, ia sungguh terkejut dengan apa yang ada di hadapannya kini.

“Kak Gala? Ngapain disini kak?” tanyanya dengan senyumannya yang terkesan gugup.

“Ga usah manggil gue kak, panggil nama gue langsung itu lebih nyaman.”

“Tapi-“

“Just call me Gala, Tamara.”

Mengangguk paham, Tamara kemudian kembali mengangkat kepalanya untuk menatap Gala.

“Ikut gue,” gumam si lelaki cepat yang kemudian mengambil langkah maju.

Sekitar sepuluh menit mereka berbincang, menceritakan bagaimana awal kisah soal perjodohan sampai akhirnya mereka duduk berhadapan di atas meja yang sama.

‘See, Gala ga tau apa-apa soal siapa yang bakalan dijodohin sama dia'

Gumam Tamara lagi, memang agak menyakitkan, tapi semua kenyataan ini sudah ada dalam perkiraan Tamara.

‘Ternyata Tamara juga ga tau siapa calon jodohnya sampai kita ketemu tadi, tapi ga mustahil kalo dia ga jujur kan?’ gumam Gala kini dalam hatinya.

Sampai di meja yang dipesan, semua orang sudah tidak ada. Mejanya masih penuh dengan piring kotor, tapi tidak satu orang pun yang duduk di atas kursinya.

“As I expected” angguk Gala dengan kedua lengan yang kini melipat di depan dada.

“Gue balik, lo juga balik aja, mereka juga mungkin udah balik,” sahutnya cepat dan tanpa mendengar jawaban ia melangkah, berjalan pergi meninggalkan Tamara yang masih terkejut.

“Gala tunggu!” teriaknya yang kemudian berlari menyusul.

“Gue ga-” terputus, Tamara merasa seperti kalimatnya tertahan di tenggorokan setelah menatap mata lelaki bertubuh semampai di hadapannya. “Ga papa, gue ga papa, hati-hati di jalan,” senyumnya lalu berjalan pergi, mendahului Gala yang kini berjalan di belakangnya.

Menghela nafas, sungguh Gala tahu apa yang akan dikatakan Tamara. Karena itu kini ia menyalib si gadis dan tanpa berbalik ia menghentikan langkahnya. “Ikutin gue, biar gue anter lo balik.”

- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Sesungguhnya typo adalah sifatnya manusia...

Our secret Marriage  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang