08. Kabar untuk Gala

1 1 0
                                    


- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Merenung di meja belajarnya, Gala masih memikirkan tentang bagaimana cara meminta maaf yang benar namun tidak terlihat menyedihkan. Empat hari berlalu tapi Gala masih belum bisa menemukan jawaban yang tepat.

Entah kenapa nenurutnya ini lebih sulit dari Fisika keruangan atau kalkulus yang ia pelajari di kampus.

Dengan sengaja ia bahkan mengawasi Tamara, perlahan-lahan mendekatinya dengan harapan ada kejadian tak terduga sampai bisa membuatnya mengungakapkan kata 'maaf' pada Tamara. Gadis yang sampai ini masih memenuhi otak Gala.

Mengacak-ngacak rambutnya, Gala kemudian melepas kacamata yang biasa ia pakai ketika membaca atau mengerjakan tugas.

“Bego, kenapa ga nemu jawabannya?” gumamnya sembari beranjak lalu berjalan keluar dari kamar.

Menuruni tangga kebawah untuk menuju ke meja makan, Gala terus menerus memikirkan jawaban dari satu pertanyaan tentang seorang gadis. Yang meski hanya dengan 1 pertanyaan, bisa membuatnya sehaus ini.

Entah kenapa Gala tidak bisa fokus pada yang lain saat ini, entah kenapa juga fokusnya terus menerus menempel pada gadis yang kini membuat Gala tampak seperti lelaki brengsek tak beradab.

Menuangkan air dari teko ke gelasnya, Gala kemudian meneguknya dengan cepat. Tampak seperti tak tersisa setetespun air di gelas bekas minumnya.

“Wah, ada apa ini bareng-bareng turun?” tanya Gala pada kedua orang tua dan adik lelakinya yang berumur dua tahun, yang baru saja turun secara bersamaan.

“Ya suka-suka ayah, ya Gian ya,” sahut Tama, ayah Gala yang kini tengah menggendong putra bungsunya Gian.

“Curiga ini mah,” sahutnya lagi tiba-tiba.

“Gini deh, abang inget ga yang ibu bilang perjodohan dulu itu?” tanya Farah atau ibu dari Gala dan adiknya Gian.

Mengangguk, lengan Gala bergerak menyimpan gelas tadi di meja makan.

“Kenapa bu?” tanyanya cepat.

“Ibu udah nemu perempuan, buat dijodohin sama abang,” jawab Farah lagi dengan riang.

Memiringkan kepala bingung, tawa Gala kemudian pecah seketika.

“AHAHAHAHAHA, bu ulang tahun abang masi lama, ga usah prank-prnak an ya, abang tebak ini ide ayah."

“Yeh, pake nyalahin ayah segala si abang,” Tama mengelak dengan cepat.

“E’em, ayah,” sahut Gian tiba-tiba mencoba mengikuti percakapan.

“Ya makanya ga usah becanda kaya gini,” dengan cepat Gala menegaskan kalimatnya.

“Yeh, orang ibu kamu ga bohong,” Tama kembali menegaskan.

“Mbu nda oong,” Gian mengangguk-angguk dengan jari telunjuknya yang berada di dalam mulut.

“Hah?” kini Gala mengerutkan keningnya, dengan detak jantung yang secara perlahan meningkat.

Mengulurkan telapak tangannya pada Gala, Farah kemudian tersenyum. “Selamat ya abang, tiga bulan lagi abang ucap akad.”

Masih dengan tawanya yang tampak tak percaya sembari mendorong jauh lengan sang ibu dengan perlahan, Gala kembali membuka mulut.

“Bu, yah, jangan bercanda, ga lucu nih sekarang.”

“Ga ada yang becanda asstagfirullah, abang mentang-mentang ayah suka ngelucu jadi ga percaya ya,” Tama melanjutkan dengan Gian yang masih dipelukannya.

“Beneran abang, minggu depan kita ketemu sama keluarga perempuannya.”

“HAH!? APA GIMANA?! ABANG GA SALAH DENGER?!”

“Abang bahagia banget ya? Sampe teriak gitu, telinga ibu sakit," Farah masih setia dengan senyum manisnya.

“Bu ini kaget, bukannya abang bahagia."

“Santai aja bang, mau akad mah emang suka deg-deg an,” sang ayah berucap dengan lengannya yang menepuk-nepuk bahu Gala.

“Ini bukan deg-degan ayah ya allah, ngapain juga abang pake acara di jodohin segala ibu?” sahutnya lagi dengan wajah tampak tak terima.

“Ya ibu ga mau abang galau terus, jadi nya ibu jodohin anak sulung ibu,” dengan senyumnya kini Farah mengusap-ngusap puncak kepala Gala.

“Bu abang makin galau kalo dijodohin gini, mana perempuannya aja abang ga kenal.”

“Ya kan mingdep kenalan bang, ibu udah atur pertemuan.”

“Yah? Ayah ga mau dukung abang gitu?” Gala dengan lengannya yang kini menggenggam telapak tangan sang ayah dengan erat.

“Nda au abang! Ayah ian, awas abang awas!” teriak si bungsu yang kini ikut memerintah Gala untuk menyingkir.

“Kebahagiaan ibu, kebahagiaan ayah juga, ibu seneng, ayah juga seneng, kalo ibu kepengen kamu nikah ya ayah juga sama, selamat abang, udah malem ayah mau bobo dulu sama Gian,” sahut Tama yang kemudian berjalan ke atas menuju kamarnya.

“Bu, ga usah ya bu,” dengan senyum selebar mungkin yang Gala bisa, ia tetap memohon.

“Dicoba dulu ya abang ya, ibu sayang abang,” sahut Farah mengusap puncak kepala Gala lalu mengikuti sang suami untuk pergi ke kamar.

Masih menganga, Gala kemudian mengeluarkan ponsel dari saku celanyanya. Menekan ikon berbentuk telepon yang ada di samping nama Rama.

[Yo ada apa bro?] tanya Rama dengan cepat setelah telfonnya tersambung.

“Gue dijodohin ma.”

[Apa gimana? Takutnya gue salah denger.]

“Gue dijodohin.”

[...]

Tidak ada balasan, tidak ada suara.

"Oi?" sahut Gala lagi karena takut hubungan telfon nya terputus.

[HAH?! JADI LO BENERAN DIJODOHIN?! INI KITA BENEE TELPONAN?! DEMI APE ANJING!?]

" ..... "

- - - - - - - - - -                                          - - - - - - - - - -

Sesungguhnya typo adalah sifat manusia..
Jangan lupa vote nyaa

Our secret Marriage  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang