Part 4. Tempat Favorit

4 2 2
                                    

Ranti bergegas menuju ruang kelas yang berada tepat di samping ruang guru. Baru ada sekitar sepuluh orang di ruang berkapasitas dua puluh delapan siswa itu.

Lebih baik di bangku kiri saja. Tak peduli siapa pun yang nanti akan duduk di sebelahku, batin Ranti sambil meletakkan tas punggung coklat di deretan kursi ke dua. Kursi kayu yang berada di barisan pertama dari pintu masuk. Bukan semata mengikuti pesan sang ayah, tetapi posisi itu memang yang selalu dipilih Ranti. Agak berjauhan dengan meja guru. Posisi yang biasanya kurang menjadi perhatian guru kala mengajar. Guru sering memilih siswa paling depan atau paling belakang yang biasa menjadi sasaran.

Hari masih pagi tetapi suasana sekolah sudah ramai. Ranti memilih menuju perpustakaan untuk mengisi waktu. Ia tidak ingin menyaksikan kegaduhan karena adanya rebutan bangku. Sebelum meninggalkan kelas, Ranti sekilas memperhatikan bangku-bangku yang belum terisi, tetapi beberapa kursi telah terbooking. Ada yang meletakkan buku atau benda pribadi lainnya, menuliskan nama dengan kapur di meja.

Pintu perpustakaan sudah dibuka tetapi belum terlihat Pak Seno, sang penjaga perpustakaan di meja kerjanya. Ranti mengambil lembaran koran yang sudah rapi terpasang pada sebuah kayu agar lembaran berita itu tidak tercecer. Matanya langsung fokus pada kolom lowongan pekerjaan.

"Lulusan SMA hanya akan menjadi penjaga toko atau kasir di kota ini."

Gadis bernama lengkap Rianti Aira Pramesti itu memang mulai rajin mencari info lowongan pekerjaan dengan kualifikasi SMA. Meski dalam hati ia sangat ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah tetapi apa daya kedua orang tuanya melarang karena ketiadaan biaya.

"Hei, Ranti, sudah di sini aja sepagi ini." Suara Pak Seno yang sudah akrab dengan gadis itu ramah menyapa.

Ranti segera menutup lembaran koran dan menuju meja pencatatan buku.

"Iya, Pak, mau mengembalikan buku yang kemarin saya pinjam sebelum libur sekolah. Harusnya saya mengembalikan waktu pengambilan rapot, tetapi terlupa. Tidak mengapa terkena denda juga, biar bisa untuk nambah koleksi buku di sekolah."

"Bisa saja kamu. Lagi serius baca apa tadi?"

"Sedang mencari lowongan pekerjaan, Pak. Buat gambaran persiapan setelah lulus nanti. Saya ingin kerja agar bisa nabung untuk biaya kuliah nanti."

Pak Seno segera menerima dan mencatat buku yang dikembalikan Ranti dalam buku register.

"Ada buku yang mau kamu pinjam lagi?"

"Belum, Pak, nanti saja. Saya mau kembali ke kelas mengambil topi untuk siap-siap mengikuti upacara."

Sekembalinya ke ruang kelas, suasana sudah lebih ramai. Matanya tertuju pada tas warna biru yang ada di sebelah bangkunya. Ranti langsung mengambil topi dari dalam tas.

"Akhirnya kesampaian juga berdekatan denganmu."

Seorang pemuda berbadan tinggi tegap tiba-tiba duduk di samping bangku Ranti. Gadis itu tak mengacuhkannya.

"Kamu enggak malu membelakangi cewek yang posture seimut aku, Ban?" tanya Santi yang duduk di belakangnya.

Santi memang bertubuh mungil, tetapi ia juga tidak mau duduk di bangku paling depan. Pemuda yang biasa dipanggi Banu itu malah tersenyum.

"Kenapa harus malu? Lagian salah kamu sendiri udah tahu kecil kenapa milih bangkunya di belakang. Harusnya di sana tuh depan meja guru."

Nada bicara Banu mulai terdengar sengit. Ranti sebenarnya tidak mempermasalahkan siapa pun yang duduk di sampingnya, asal bukan cowok.

"Bangku ini sudah kubooking dari kemarin-kemarin. Aku sudah menaruh satu buku di laci. Mengapa tiba-tiba kamu menempati. Atau kamu mau pindah dari sini?"

Kembali Banu berargumen. Ranti tersadar mengapa ia tidak memeriksa terlebih dahulu bangku di sebelahnya sebelum memutuskan menempati.

"Aku tidak akan pindah. Kamu saja yang pindah. Toch selama ini kamu biasanya lebih suka duduk di bangku deretan belakang."

Ranti mulai memasang muka judes. Ia memang malas berurusan dengan pemain basket yang selama tiga tahun ini sekelas dengannya.

"Itu dulu. Sekarang sudah kelas tiga, waktunya lebih harus fokus pada pelajaran. Oiya, memang Bapakmu melarang untuk duduk sebangku dengan orang seganteng aku?"

Tet Tet Tet

Suara bel tanda upacara akan dimulai menghentikan perseteruan keduanya. Ranti meninggalkan begitu saja Banu yang masih saja tertawa. Ia segera menuju lapangan. Gerakan yang terburu-buru membuatnya hampir menabrak seorang siswa dengan seragam yang masih baru.

Hijrah CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang